Thursday, August 14, 2014

FanFiction :: The Gift - Chapter 2 ::



THE GIFT
*
*
*
*
*
All Characters Belongs To J.K.Rowling
||
||
Pair : Draco Malfoy X Hermione Granger
( 7 tahun setelah kejatuhan Voldemort )
WARNING : EYD berantakan, typos everywhere, alur kecepetan, OOC, geje. My First Fic.

Hermione yang merasa jijik melihat kelakuan mereka segera mengambil kembali kopernya yang tadi terjatuh, melangkah keluar ruangan Ron dan berdisapparate tepat diluar pintu meninggalkan kedua manusia yang sudah tega menghancurkan hatinya.

Chapter 2
                Tepat disaat Hermione melangkah keluar ruangan Ron dan berdisapparate, Harry Potter yang kebetulan juga masih di kantor melihatnya. Harry berusaha mengejar Hermione tapi gadis itu telah lebih dahulu menghilang. Harry yang merasa heran saat itu juga menoleh ke dalam ruangan Ron dan kaget melihat keadaan Ron dan Lavender yang sedang berusaha memakai kembali pakaian mereka.
“RON!!!!! Apa yang kau lakukan??!!”, teriak Harry.
“Harry! Ini bukan seperti yang kau lihat.”, Ron tampak gugup. Sedangkan Lavender berusaha mengancingkan kemejanya, juga nampak gugup.
“Bukan seperti yang kulihat?? Lalu apa yang kalian lakukan, ha? Aku melihat Hermione baru saja berdisapparate di luar ruanganmu. Pasti dia telah melihat apa yang kalian lakukan.”, Harry membetulkan letak kacamatanya. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Ia merasa kecewa melihat kelakuan Ron.
“Harry, aku bisa menjelaskannya.”, sekarang Ron sudah berpakaian lengkap, begitu juga dengan Lavender. Gadis itu hanya diam menundukan kepalanya disamping Ron. Harry menggelengkan kepalanya.
“Bukan kepadaku. Tapi pada Hermione,Ron. Jujur, aku kecewa padamu, Ron! Dan juga padamu, Lavender! Kalian benar-benar.... ah sudahlah!!”, Harry frustasi mengacak-acak rambutnya dan pergi meninggalkan Ron dan Lavender.
OoO
                Hermione tiba di depan pintu apartemennya. Segera saja ia masuk dan mengunci pintunya. Baik secara muggle juga sihir. Dia benar-benar hancur. Tangisnya meledak. Ia menumpahkan semua air matanya hingga terasa sesak di dada. Ia tinggal sendirian di apartemennya, sehingga ia tak ragu-ragu untuk menangis. Ia tak menyangka bahwa Ron akan mengkhianatinya. Dan yang terburuk ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya itu bercinta dengan teman sekolahnya dulu. Apalagi, gadis itu adalah mantan kekasih Ron saat masih di Hogwarts. Hermione terus saja menangis hingga akhirnya ia pun tertidur.
OoO
I never thought that i’d survive you
But i will be free
And there’ll be so many nights i gotta get through
But now i see
You’ll never be the end of me (no)
Cause when my world fell apart
And i didin’t know where to start
I heard the sound of broken heart
( I still feel the pain )
I heard the sound of broken heart
( It still beats the same )
~ Westlife – Sound of Broken Heart ~

                Hermione terbangun pada pukul 7 pagi dengan mata sembab sebesar bola pingpong. Hatinya masih pedih. Ia benar-benar terluka. Hubungan yang ia jalin selama ini harus kandas dengan cara yang sangat menyakitkan. “Lebih baik aku di crucio saja daripada harus menyaksikan kejadian semalam”, batin Hermione sedih. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil secarik perkamen dan menulis kepada atasannya bahwa dia tidak bisa masuk kerja hari ini dikarenakan tidak enak badan. Laporan tentang pagelaran Wizz Fashion Week akan segera dikirimkan melalui e-mail. Ya, Daily Prophet pun juga mulai terbuka dengan penggunaan teknologi muggle. Selesai menggulung perkamen, Hermione mengikatkannya pada kaki Harold, burung hantu kepunyaannya. Ia merasa tidak sanggup bekerja hari ini karena kejadian semalam. Setelah Harold terbang menuju kantor Daily Prophet, Hermione bergegas menuju kamar mandi. Tepat sebelum tangannya menyentuh gagang kamar mandi, ia mendengar pintu apartemennya diketuk. Merasa heran siapa yang bertamu sepagi ini, Hermione mengurungkan niatnya masuk kamar mandi. Ia berjalan membukakan pintu untuk tamunya. Dan setelah pintu dibuka....
“Mau apa kau kesini?!!”, hardik Hermione dengan ketus.
“Mione, aku ingin menjelaskan semuanya. Bolehkah aku masuk?”, Ron Weasley berdiri tepat dihadapan Hermione.
“Apalagi yang perlu dijelaskan? Yang kulihat semalam sudah menjelaskan semuanya!”.
“Ayolah,Mione! Biarkan aku masuk. Aku tidak akan menyakitimu.”
“Kau. Sudah. Menyakitiku.”, Hermione menekankan setiap kata yang diucapkannya dengan tegas. Padahal dalam hati ia berusaha mati-matian untuk menahan emosinya agar jangan sampai menangis di depan kekasih yang mengkhianatinya.
“Aku mengerti,Mione. Aku minta maaf. Tapi aku ingin menjelaskan tentang semuanya. Tolong biarkan aku masuk.”, pinta Ron. Hermione akhirnya memberi jalan pada Ron untuk masuk. Mereka pun duduk di sofa ruang tamu dengan berhadapan. Padahal sebelumnya selalu berdampingan jika Ron berada disana.
“Cepat jelaskan! Aku tak punya banyak waktu untukmu!”, Hermione menyilangkan tangannya sembari cemberut.
“Baiklah. Aku minta maaf,Mione. Aku tahu, aku memang salah sudah mengkhianatimu. Tapi sebenarnya dari dulu aku memang ingin jujur padamu. Aku masih mencintai Lavender sampai saat ini. Aku pikir dulu ketika aku memutuskan untuk menjalin hubungan denganmu aku bisa melupakan Lavender. Tapi ternyata tidak.”, Ron menghela napas sejenak, “Maafkan aku sudah tidak jujur selama ini. Aku berusaha mencintaimu selama ini. Tapi tetap tidak bisa. Aku sebenarnya takut menyakitimu. Kau terlalu baik. Maka dari itu aku tetap bersamamu selama 7 tahun ini. Tapi perasaanku tak bisa dibohongi, Mione. Lavender datang kembali dalam hidupku. Dan jujur, aku masih memiliki perasaan untuknya. Maafkan aku, Mione. Maaf....”, Ron mengakhiri penjelasannya, menatap wajah Hermione lekat-lekat. Kemudian menundukkan kepala. Hermione yang tercengang akan penjelasan Ron masih terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menutup matanya. Ketika ia membuka mata, ia pun berkata....
“Terima kasih atas penjelasanmu. Terima kasih untuk 7 tahun kebersamaan kita. Dan terima kasih untuk semua kenangan kita. Sekarang silahkan kau pergi dari tempat ini. Kurasa hubungan kita sudah berakhir. It’s over.”, ujar Hermione sambil berjalan menuju pintu dan membukakannya agar Ron segera pergi. Ron yang memang merasa bersalah bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Tapi ia berhenti sejenak di depan gadis brunette itu.
“Kita masih tetap menjadi sahabat kan,Mione?”, tanya Ron dengan tampang memelas.
“Akan kupikirkan nanti.”, jawab Hermione tanpa mau memandang Ron. Kakak Ginny Weasley itu hanya bisa menghela napas kembali.
“Sampai jumpa,Mione. Sekali lagi, maafkan aku.”, dan Ron pun berlalu dari hadapan gadis bersurai cokelat itu. Hermione tak menjawab dan langsung menutup pintu. Tangisnya kembali pecah. Ia jatuh terduduk dan bersandar pada pintu. Menangisi kehidupan cintanya yang hancur. 7 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melupakan orang yang selama ini bersamanya. Walaupun ia sendiri sadar bahwa terkadang ia ragu dengan perasaannya terhadap Ron, tapi 7 tahun yang dilalui bersama pria berambut merah itu memberikan banyak kenangan baginya. Dan ia benar-benar tak menyangka bahwa sampai saat ini Ron masih mencintai Lavender, mantan pacar saat di Hogwarts. Ia tak percaya selama ini ia hanya dijadikan sebagai pelarian. Semua ini sungguh terasa menyakitkan baginya. Hermione terus saja menangis hingga suara ringtone ponselnya berdering. Ia bangkit, mengusap air matanya dan berjalan mengambil ponselnya di dalam kamar yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Nama Harry Potter tertera di layar ponselnya.
“Halo,Harry.”, suara Hermione terdengar serak karena kebanyakan menangis.
“Mione? Kau baik-baik saja?”, nada khawatir terdengar dari suara Harry.
“Aku bohong jika aku mengatakan baik-baik saja,Harry.”, Hermione kembali sesenggukan. Ia mulai menangis lagi.
“Mione, kenapa kau menangis?”, tanya Harry panik.
“Bisakah kau kemari bersama Ginny, Harry?”, tanya Hermione balik sambil tetap sesenggukan.
Baiklah,aku kesana sekarang bersama Ginny. Tenanglah...”
“Okay, Harry. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa,Mione.”, sambungan telepon pun terputus. Masih dengan terus bercucuran air mata, Hermione melangkah ke kamar mandi untuk  melanjutkan rencana mandinya yang tadi sempat tertunda karena kehadiran Ron.
OoO
                20 menit kemudian, Hermione telah selesai mandi dan berganti pakaian. Tak lama kemudian terdengar pintu apartemennya kembali diketuk. Harry dan Ginny baru saja berapparate di depan pintu apartemen Hermione. Gadis itu berjalan untuk membukakan pintu. Segera saja setelah pintu dibuka, Harry dan Ginny masuk. Hermione menutup kembali pintunya. Setelah mempersilahkan sepasang kekasih itu duduk. Hermione menceritakan semua yang terjadi dan kembali menangis. Tampaknya ia benar-benar rapuh saat ini. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menangis. Ginny berpindah tempat duduk disamping Hermione dan merangkul pundak gadis itu untuk menenangkannya. Harry yang sedari tadi terdiam mendengarkan cerita Hermione akhirnya angkat bicara.
“Semalam aku melihatmu saat kau keluar dari ruangan Ron. Aku ingin mengejarmu tapi tepat saat itu kau berdisapparate. Dan ketika aku melihat ke dalam ruangan Ron, aku juga sama terkejutnya denganmu. Dan aku juga kecewa pada Ron.”, Harry mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan.
“Aku minta maaf,Mione atas kelakuan kakakku yang menjijikkan.”, Ginny tampak merasa malu dan bersalah atas kelakuan Ron. Hermione yang masih sesenggukan tidak menjawab. “Jujur, aku juga marah pada Ron. Dan aku juga sama sekali tak mengira ia masih menyimpan rasa untu Lavender.”, Ginny tampak berusaha memendam emosi.
“Sudahlah,Mione. Jangan menangis lagi. Aku tahu 7 tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi kau harus bangkit lagi. Jangan biarkan keadaan membuatmu terpuruk. Aku percaya kau sanggup melewati semua ini.”, Harry berusaha membangkitkan semangat sahabatnya itu.
“Aku tahu,Harry. Tapi semua terasa menyakitkan. Aku begitu kecewa. Tak kusangka Ron tega melakukan itu padaku.”, Hermione mengusap pipinya yang basah karena tangisnya. Ginny yang duduk disampingnya beranjak untuk mengambilkan tisu dan memberikannya pada Hermione.
“Aku yakin, kau akan mendapatkan yang lebih baik dari Ron, Mione.”, hibur Ginny.
“Aku tak tahu,Gin. Aku belum terpikir untuk mencari pengganti Ron. Semua yang terjadi masih sulit kupercaya.”
“Percayalah, Mione. Time will healing you. Cry. Forgive him. Learn. Move on. Let your tears water the seeds of your future happiness.”, Harry memberikan nasihatnya. “Sooner or later we’ve all got to let go of our past.”
Thanks, Harry, Ginny. Aku sungguh berterima kasih memiliki kalian disaat aku rapuh seperti ini.”, Hermione memaksakan senyumnya dengan lemah. Ginny mengusap-usap punggung Hermione sembari tersenyum.
“Walaupun kakakku sudah tak lagi bersamamu, aku akan tetap selalu ada untukmu,Mione.”, ujar Ginny. Hermione kembali tersenyum mendengarnya. Dan ia memeluk Ginny. Air mata meleleh keluar dari manik cokelat madunya.
“Terima kasih,Gin.”, hanya itu yang bisa diucapkan Hermione. Harry yang menyaksikan dua gadis yang disayanginya berpelukan itu ikut tersenyum. Walaupun sebenarnya ia juga marah terhadap Ron, tapi bagaimanapun juga Ron adalah sahabatnya, begitu juga Hermione. Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya sebagai pihak netral dan berusaha mengembalikan semangat Hermione. Sedangkan Ron bisa ia ajak ngobrol lain waktu.
“Baiklah, Mione. Aku rasa, kami harus pergi. Siang ini aku ada pertemuan penting di kantor. Tadi aku sempatkan kemari terlebih dahulu untuk menengokmu.”, Harry berpamitan.
“Okay, Harry. Terima kasih sudah mau datang dan menghiburku.”, jawab Hermione. Harry dan Ginny tersenyum dan bangkit menuju pintu.
“Sampai jumpa,Mione. Be strong.”, Ginny memeluk Hermione sekali lagi. Hermione hanya menganggukkan kepalanya.
“Sampai jumpa lagi,Mione.”, ujar Harry sambil tersenyum.
“Iya, Harry, Ginny.” Hermione tersenyum lemah. Dan saat itu juga sepasang sejoli itu berdisapparate.


OoO
When will the world start spinnin’
And what happenned to my happy ending
Learning what it takes, to turn this page
Didn’t know how to walk away
Walk away
Now I’ve made it this far
And the pain isn’t over
But the sun keeps on risin’
And I keep getting stronger
~ Westlife – Sound of Broken Heart ~

                Seminggu sejak berpisah dari Ron membawa perbedaan dalam kehidupan Hermione. Jika biasanya sepulang kerja ia selalu menghabiskan sisa waktunya bersama Ron, sekarang tidak lagi. Sekarang semua dilaluinya sendirian. Seperti malam ini, selepas kerja Hermione berjalan-jalan sendiri di 338 Old Street. Ia bermaksud mengunjungi kafe favoritnya, Ziferblat. Kafe ini cukup unik, karena ketika pengunjung memasuki kafe, mereka akan diberikan sebuah jam alarm dan dicatat waktu masuknya. Kemudian jam alarm ini akan dikembalikan saat pengunjung meninggalkan kafe. Berapa jumlah tagihan tergantung jumlah waktu yang dihabiskan di dalam kafe. Hermione sangat senang menghabiskan waktunya di Ziferblat. Meskipun setiap menit dikenakan tarif 3 pound sterling, tapi untuk kopi dan cemilannya disediakan gratis. Dan juga tidak ada karyawan yang melayani, semuanya self-service, termasuk mencuci piring sendiri. Tapi tetap saja kafe ini menjadi salah satu pilihan favorit warga London.
                Hermione sudah mendapatkan jam alarm saat memasuki Ziferblat tadi. Ia menuju mesin pembuat kopi untuk meracik cappucino buatannya sendiri. Selesai membuat cappucino-nya, ia beranjak mengambil cemilan. Fish and Chips menjadi pilihannya. Ia berjalan untuk mengambil tempat di dekat jendela. Ia meneguk sedikit cappucino-nya saat sebuah suara menyapanya.
“Granger??”, Hermione mendongak.
“Malfoy?? Apa yang kau lakukan disini?”, tanya Hermione sedikit terkejut bertemu seorang Draco Malfoy di kafe muggle seperti ini.
“Untuk bersantai jelas. Hal seperti itu tidak perlu kau tanyakan, Nona-Tahu-Segala.”, sindir Draco sambil mengambil tempat duduk di depan Hermione. Hermione membulatkan matanya.
“Hei, kenapa kau duduk disini?”.
“Memangnya tidak boleh? Tidak ada larangan tertulis untuk duduk disini.”, Hermione mengerucutkan bibirnya. Senyum sinis nampak di wajah pucat Draco. Di tangannya terdapat secangkir black coffe.
“Mengejutkan sekali,Malfoy. Bisa bertemu denganmu di tempat muggle seperti ini.”, ujar Hermione.
“Hei, sesekali aku juga mengunjungi tempat muggle, Granger. Terlalu sering ke kafe atau bar penyihir bisa membuatku bosan.”, jelas Draco, “Dimana Redhead? Aku tidak melihatnya bersamamu?”. Hermione agak sedikit tersentak mendengar pertanyaan Draco.
“Kami sudah putus.”, jawab Hermione singkat sambil mengunyah cemilannya. Draco tampak sedikit heran.
“Putus?? Kenapa??”
“Dia berselingkuh. Ah,tidak. Tepatnya, dia kembali ke pelukan Lavender Brown.”
“Haa...sudah pernah kubilang,kan. Harusnya kau yang lebih dulu meninggalkannya sebelum kau yang dicampakkannya.”, Draco menyeruput black coffe-nya. Hermione tambah cemberut.
“Hah,kau ini! Bukannya menghibur malah membuatku semakin kesal saja.”
“Wow, kau berharap aku menghiburmu ya?! Hmm, jangan-jangan kau mulai naksir padaku, eh?”
“Sembarangan saja kau bicara. Mana mungkin aku naksir musang?!”, kali ini ganti Draco yang tampak sedikit kesal. Setiap ia diolok-olok musang oleh gadis di hadapannya ini, ia selalu teringat akan kejadian memalukan saat kelas 4 dulu. Dimana ia ditransfigurasi menjadi musang oleh Alastor Moody gadungan.
“Dasar berang-berang!”, ejek Draco balik. Hermione melotot. Draco tertawa melihat ekspresi Hermione. Senang sekali rasanya memancing emosi gadis itu.
“Hei, Malfoy! Kenalkan aku pada teman kantormu yang tampan.”, Draco yang saat itu sedang meneguk kopinya agak sedikit tersedak mendengar permintaan tiba-tiba dari Hermione. Ia tak habis pikir. Baru saja gadis itu mengatakan bahwa baru saja putus dari pemuda Weasley tersebut, sekarang minta dikenalkan dengan teman kantornya yang tampan.
“Teman kantorku?”, tanya ulang Draco.
“Iya. Siapa tahu dengan begitu aku bisa cepat lupa dengan Ron.”, jawab Hermione.
“Siapa? Tak ada yang tampan di kantorku selain aku.”, sombong Draco. Hermione membuat ekspresi ingin muntah. Draco hanya mengernyit.
“Narsis sekali kau. Masa tak ada yang tampan di kantormu?”
“Ada. Yaitu aku, Draco Lucius Malfoy.”
“Selain kau?”
“Sudah kubilang tak ada,Berang-berang!”, Draco mendengus kesal, “Dulu Si McLaggen itu jelas-jelas naksir kau. Eh, malah kau yang menghindar. Sekarang dia sudah menikah dengan salah satu dari Patil bersaudari. Entah Padma atau Parvati, aku susah membedakannya.”
“Aku tak pernah menyukai McLaggen. Makanya kutolak dia.”, jelas Hermione. Draco hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Nanti juga kau akan menemukan pengganti Si Weasel itu. Tak perlu khawatir, Granger.”
“Iya, aku tahu, Malfoy.”
“Kau tak pulang? Ayo kuantar.”, Hermione sedikit tercengang mendengar Draco menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. “Ayolah, aku tak bercanda. Tak baik seorang gadis pulang malam sendirian.”, lanjut Draco sambil bangkit dari duduknya.
“Aku masih seorang penyihir, Malfoy. Kalau ada yang berniat jahat padaku, aku akan langsung meng-crucio-nya.”
“Dan kau akan berakhir di Azkaban.”, lagi-lagi jawaban Draco membuat Hermione heran. Seolah-olah Draco tampak peduli padanya. Draco Malfoy yang notabene mantan pelahap maut, yang dulunya tak segan untuk memantrai setiap murid Hogwarts yang menghalangi jalannya, yang dulunya tak ragu untuk melontarkan kutukan Cruciatus, sekarang malah mengingatkan Hermione kalau penggunaan salah satu dari 3 Kutukan Tak Termaafkan itu bisa membuatnya mendekam di Azkaban.
“Ayo!”, Draco mengulurkan tangannya. Hermione memandang ragu tangan pucat Draco yang terulur padanya. Ia memandang ke dalam mata Draco dan tak menemukan apabila pria pirang itu sedang mengerjainya.
“Baiklah.”, Hermione pun menyambut uluran tangan Draco dan bangkit berdiri. Mereka berdua melangkah menuju pintu keluar. Mengembalikan jam alarm yang tadi diberikan saat mereka masuk dan Draco membayar jumlah tagihannya dan Hermione.
“Hei, kau tak perlu melakukan itu.”, Hermione merasa sungkan.
“Tak apa.”, sahut Draco singkat. Tangannya masih menggenggam jemari Hermione saat mereka keluar dari Ziferblat. Saat itu sudah memasuki musim gugur. Udara sekitar agak sedikit dingin dengan angin yang berhembus kencang. Tiba-tiba Draco memasukkan jemari Hermione ke dalam saku mantelnya. “Masukkan tanganmu yang satu lagi ke saku mantelmu.”, perintah Draco,dengan nada yang datar.
“Oke.”, Hermione hanya menjawab singkat dan menundukkan kepala menatap sepatunya. Jantungnya agak deg-deg an mendapat perlakuan dari Draco seperti itu. Tangan Draco yang menggenggamnya terasa hangat. Draco menuntunnya berbelok menuju sebuah gang sempit dan berdisapparate.
                Plop. Mereka muncul di depan apartemen Hermione. Hermione melepas pegangan tangannya dari Draco.
“Er..Terima kasih, Malfoy.”, ucap Hermione agak gugup.
“You’re welcome.”, dan baru kali ini Draco tersenyum dengan tulus. Hermione sampai terpana dan baru saja mengakui dalam hati kalau ternyata pewaris Malfoy Corporation ini sangat tampan.
“Er...aku masuk dulu. Sampai jumpa lagi,Malfoy!”
“Oke. Masuklah. Cepatlah tidur, Berang-berang!”, kata Draco sambil mengacak-ngacak rambut Hermione, membuat gadis itu bersemu merah. Hermione tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia pun masuk dan menutup pintu. Setelah Hermione menutup pintu. Draco pun berbalik. Ia tersenyum sejenak. Tak tahu kenapa. Tapi ia merasa bahagia saja mengingat wajah Hermione yang bersemu merah karena dia mengacak-ngacak rambutnya tadi. Dalam sekali putaran, kibasan mantel Draco pun menghilang. Hermione yang masih bersandar di balik pintu pun juga tersenyum-senyum sendiri. Ia menyentuh rambutnya. Tersenyum lagi. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Ia melangkah menuju kamarnya, berganti baju tidur dan beranjak tidur masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

OoO

                Sore ini Hermione sedang mematutkan diri di depan cermin. Dari tadi ia sibuk memilih pakaian yang akan dikenakannya untuk pergi bersama Draco. Ya, sudah sekitar 2 minggu ini ia sering keluar bersama putra Lucius Malfoy. Entah apa status hubungan mereka saat ini. Tapi yang pasti ia menikmati setiap waktu yang dilaluinya bersama Draco. Harry dan Ginny belum mengetahui kedekatannya dengan Draco saat ini. Terdengar suara pintu diketuk tepat ketika Hermione selesai berdandan. Ia membukakan pintu.
“Hei!”, sapa Hermione. Senyum terkembang di wajahnya.
“Hei!”, jawab Draco tersenyum, “Kau sudah siap?”.
“Yes, Sir.”, Draco mengulurkan tangannya dan Hermione menyambutnya.  Draco yang malam ini mengenakan kemeja putih bergaris biru dengan dipadu jaket denim biru tampak begitu menawan. Hermione juga tampak cantik dengan mini dress biru muda sepanjang lutut ditambah stiletto berwarna putih. Rambutnya ia ikat dengan bentuk cepol samping dengan sedikit rambut menjuntai disisi wajahnya. Dengan bergandengan tangan mereka berdisapparate.
                Mereka berapparate tepat di depan Emerald Restaurant. Kali ini mereka memilih restoran penyihir. Draco dan Hermione melenggang masuk. Pelayan restoran mempersilahkan mereka memilih tempat. Draco dengan sigap menarik kursi dan mempersilahkan Hermione untuk duduk. Hermione pun hanya bisa tersenyum. Setelah Draco duduk, mereka mulai memilih menu untuk sajian makan malam mereka. Hermione benar-benar menikmati malam ini. Senyum tak pernah hilang dari wajah cantiknya. Draco pun begitu. Tak ada lagi wajah pucat datar tanpa ekspresi khas Malfoy. Sesekali Draco menggenggam tangan Hermione di tengah makan malam mereka. Tentu saja hal itu makin melambungkan perasaan Hermione.
“Kau sangat cantik malam ini,Granger.”, puji Draco selesai makan. Tangannya kembali menggenggam jemari Hermione. Yang dipuji tampak tersipu malu.
“Oh,jadi hanya malam ini aku terlihat cantik?”, goda Hermione. Draco tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Bukan begitu. Kau selalu nampak cantik. Tapi malam ini lebih cantik lagi.”, ujar Draco. Hati Hermione kebat-kebit dibuatnya.
“Kau pintar menggombal, Tuan Malfoy!”, Hermione berusaha menyembunyikan perasaannya bahwa ia senang dipuji seperti itu oleh Draco.
“Dan kau tampak senang kugombali, Miss-Know-It-All.”, Draco tertawa. Hermione semakin tersipu. Tangan Draco yang masih menggenggam tangannya membuat jantungnya makin berdebar. Hermione tak tahu bahwa Draco pun juga deg-deg an. Baru kali ini ia merasakan perasaan seperti ini. Gadis di hadapannya ini dulunya adalah musuhnya saat di sekolah. Yang selalu ia panggil mudblood selama di Hogwarts. Sekarang gadis itulah yang membuat perasaannya tak karuan. Tak lama kemudian, Draco memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayarnya, ia dan Hermione melangkah keluar dan langsung berdisapparate.
                Kembali mereka muncul di depan pintu apartemen Hermione. Hermione membuka pintu dan kemudian berbalik menghadap Draco.
“Terima kasih untuk malam ini, Malfoy.”, ujarnya sambil tersenyum.
“Sama-sama, Granger.”, jawab Draco, “Masuklah. Sudah larut malam.”
“Baiklah.”, tapi Hermione masih saja mematung di depan pintu tidak segera masuk. Ia malah menundukkan kepala memandang stiletto-nya. Draco pun juga terdiam. Tak ada satu kata pun keluar dari bibir mereka masing-masing.  Draco maju mendekati Hermione. Dan tiba-tiba saja bibir Draco sudah mencium Hermione. Hermione yang kaget hanya bisa merasakan bibir basah Draco menyatu dengan bibirnya. Hangat dan kenyal. Ciuman yang awalnya biasa saja mulai berubah menggelora. Lidah Draco meminta masuk untuk dapat bermain dengan lidah Hermione. Hermione yang mulai terbawa arus pun secara refleks membuka bibirnya dan membiarkan lidah Draco mengajak bermain lidahnya. Jemari Draco bergerak ke arah leher Hermione sedangkan tangan satunya berada di pinggang gadis itu. Draco bergerak masuk ke apartemen Hermione. dengan satu kakinya ia menutup pintu tanpa melepas ciumannya. Ciuman mereka sarat akan emosi. Rasa ingin memiliki dan tak ingin kehilangan. Sesekali Draco menghisap lidah Hermione. Membuat gadis itu mendesah. Jemari Draco di leher Hermione bergerak ke rambut gadis itu dan membuat cepolnya terurai. Draco sedikit menggeram dalam ciumannya. Dengan sekali gerakan, Draco mendorong Hermione ke tembok dan mengangkat tubuh gadis itu. Seolah mengerti keinginan Draco, Hermione refleks melingkarkan kakinya di pinggang Draco. Ciuman mereka berhenti sejenak untuk mengambil napas. Dan Draco kembali mencium Hermione seolah-olah hidupnya bergantung akan hal itu. Ciuman Draco turun ke leher Hermione, membuat gadis itu semakin mendesah tak karuan.
“Mmhh...Aahh... Malfoy...”, Hermione mendesah dengan mata terpejam. Draco terus saja menciumi lehernya. Wangi tubuh Hermione seolah menjadi candu baginya. Ciuman Draco kembali keatas. Ia kembali merasakan bibir manis Hermione. Lidah mereka saling bertautan. Hingga akhirnya ciuman mereka berakhir. Draco menurunkan Hermione dari pinggangnya dan menempelkan dahinya pada dahi Hermione. Napas mereka terngah-engah. Mata mereka saling memandang dan mereka sama-sama tersenyum.
“Maafkan aku sudah lancang menciummu.”, kata Draco, masih dengan napas agak terengah.
“Tak apa,Malfoy.”, ujar Hermione tersenyum.
“Aku tak mengerti perasaan yang kurasakan ini. Tapi aku menikmati setiap waktu yang kulalui bersamamu.”, Draco mengatakannya sambil memegang kedua pipi Hermione.
“Aku juga menikmati saat-saat bersamamu,Malfoy.”, Hermione menatap lekat-lekat ke dalam mata abu-abu Draco, “Jadi sekarang apa status hubungan kita?”.
“Aku tak tahu, Granger. Tapi aku hanya ingin bersamamu. Aku masih belum mengerti perasaan yang kurasakan ini. Kita jalani dulu saja hubungan kita seperti ini.”
“Baiklah, aku mengerti.”, Hermione tersenyum. Draco mengecup dahinya dan ia spontan menutup mata.
“Sampai jumpa besok, aku akan menjemputmu sepulang dari kantor. Sekarang tidurlah.”, kata Draco. Hermione tersenyum sambil menganggukkan kepala. Draco berjalan keluar apartemennya. Sebelum pergi, Draco kembali memberinya ciuman singkat di bibir dan tersenyum.

To be continued....


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.