THE GIFT
*
*
*
*
*
All Characters Belongs To J.K.Rowling
||
||
Pair :
Draco Malfoy X Hermione Granger
( 7
tahun setelah kejatuhan Voldemort )
WARNING
: EYD berantakan, typos everywhere,
alur kecepetan, OOC, geje. My First Fic.
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap
Hermione.....
Chapter 4
Wajahnya tampak kusut karena
terlalu bimbang menghadapi masalah ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Sedari tadi ia hanya berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Beberapa map
berisi perjanjian kontrak dengan berbagai perusahaan tampak terbengkalai di
atas mejanya. Sesekali ia menggeram frustasi dengan mengacak rambut pirang
pucatnya. Ya, Draco tampak agak tertekan. Di satu sisi ia belum bisa lepas dari
Astoria. Tapi, disisi lain ia mulai mencintai Hermione. Ia menginginkan gadis
itu. Dan Hermione sudah memberinya satu syarat malam itu. Malam dimana Astoria
memergokinya tengah bersama Hermione.
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”, kata-kata Hermione kembali terngiang di telinganya. Wajah Hermione yang
menangis malam itu menghantui tidurnya.
Sudah 3 hari ini ia tak bertemu dengan Miss-Know-It-All
itu. Hermione menolak bertemu dengannya selama ia belum memutuskan pilihannya.
Draco tak tahan jika tak bertemu dengan Hermione. Akhir-akhir ini ia selalu
bertemu gadis itu setiap hari. Seolah Hermione adalah dopping wajib baginya.
“Aaarrrgghhh!!!!”,
geram Draco frustasi. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Ia memijat
pelipisnya sambil memejamkan mata. Pikirannya tertuju pada Astoria dan
Hermione. Sudah berulang kali ia bermaksud memutuskan Astoria, tapi gadis itu
tak mau. Astoria terlalu mencintainya. Ditambah lagi karena kakak Astoria,
Daphne Greengrass, adalah salah satu kawan karibnya semasa sekolah dulu. Draco
jadi tak enak hati. Astoria tak mau berpisah darinya karena apa yang ia lakukan
bersama Astoria sudah cukup jauh. Tak hanya sekedar berciuman atau berpelukan.
Draco bahkan sudah pernah tidur dengan Astoria. Atau lebih tepatnya bercinta
dengan Astoria. Ya, Draco lah pria yang memerawani Astoria. Dan Draco teringat
malam itu saat Hermione memintanya untuk meninggalkan Astoria, Hermione pun
bertanya sudah sejauh apa hubungannya dengan si bungsu dari keluarga Greengrass
itu, Draco menjawab jujur apa adanya. Ia merasa tak bisa berbohong pada
Hermione.
~ Flashback ~
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap
Hermione. Gadis itu memberinya pandangan terluka. ‘Shit!’, Draco mengumpat
dalam hati. Dia merasa benar-benar brengsek. Tak tega melihat mantan musuhnya
semasa sekolah itu menangis karena dirinya. Dan untuk sesaat ia merasa terkejut
sendiri dengan apa yang dirasakannya. Bukankah memang sedari dulu seorang Draco
Malfoy memang brengsek. Berapa banyak wanita yang jatuh bangun, hancur lebur
dipermainkannya. Tapi lihat sekarang, seorang Hermione Granger bisa membuatnya
merasa bersalah karena menyakiti hati seorang wanita. Tidak, bukan satu, tapi
hati dua orang wanita. Hermione Granger dan Astoria Greengrass.
“Aku takut Astoria bunuh diri jika aku meninggalkannya,
tapi aku mencintaimu Hermione”,jawab Draco lesu.
“ Sudah sejauh mana hubungan kalian hingga kau takut dia
bunuh diri jika kau tinggalkan?”, tanya Hermione, masih menahan tangis. Draco
tampak bingung menjawabnya, tapi ia merasa ia harus jujur untuk mendapatkan
hati gadis itu.
“Jauh.”, jawab Draco singkat.
“Sejauh mana??”, Hermione mengulang kembali
pertanyaannya.
“Kau pasti tahu.”, Draco menatap Hermione yang memberinya
tatapan jelaskan-dengan-sejelas-jelasnya-atau-kucekoki-veritaserum. Draco
menghela napas, “Baiklah. Akulah pria pertama bagi Astoria.”
Suara Hermione tercekat di tenggorokan. Tangisnya kembali
meleleh. Raut wajahnya menampakkan sakit hati karena telah dibohongi dan
mengetahui Draco sudah pernah tidur dengan Astoria. Hermione membuang muka.
Draco memanggilnya.
“Hermione...”
“Pergi dari hadapanku, Malfoy! Jangan temui aku hingga
kau bisa memutuskan pilihanmu!”, tegas Hermione, tanpa mau memandang Draco.
Draco yang tampak bersalah hanya bisa terdiam. Sakit rasanya diusir oleh
Hermione. Seorang Malfoy tidak pernah diusir seperti ini. Tapi Draco sadar ia
memang salah. Bejat. Sudah membuat hati dua orang gadis terluka karenanya.
Tangan Draco terangkat ingin membelai rambut Hermione, tapi gadis itu
jelas-jelas menangis tak mau menatapnya. Maka, Draco mengurungkan niatnya. Ia
menurunkan kembali tangannya dan pergi dari apartemen Hermione.
~ Flashback end ~
“Wajahmu kacau
sekali,mate! Seperti perlu disetrika.”,
suara Theo membuyarkan lamunannya. Tiba-tiba saja pria itu muncul di kantor
Draco dari dalam perapian. Draco yang tadinya merenung agak sedikit terkejut.
“Kau mengagetkanku
saja!”, kata Draco. Ia menyandarkan kepala pada kursinya. Theo berjalan menuju
meja kecil di samping meja kerja Draco untuk mengambil segelas fire whiskey.
“Ada urusan apa kau
kemari?”, tanya Draco datar, sambil memberi isyarat pada Theo agar
mengambilkannya segelas fire whiskey
juga.
“Tak ada apa-apa.
Hanya ingin mampir saja. Aku agak malas untuk langsung pulang selepas dari
kantor tadi.”, jawab Theo sambil menyerahkan gelas berisi fire whiskey pada
Draco. Ia melirik ke meja Draco dan melihat banyak dokumen bertebaran disana.
Ia mengrenyitkan dahinya dan memandang Draco yang tengah meneguk minumannya.
“Tak hanya wajahmu
saja yang kacau, bahkan pekerjaanmu juga tampak kacau. Masa dokumen-dokumen
penting seperti ini kau biarkan berserakan seperti ini?”, Theo pun duduk di
depan Draco. Draco, tetap dengan wajah datarnya, memandang mejanya kemudian
menatap Theo.
“Aku pusing.”,
jawab Draco singkat. Theo merasa aneh dengan jawaban Draco. Setahunya, seorang
Draco Malfoy tidak pernah terlihat pusing dan kacau seperti ini.
“Whoa! Ada
apa,mate?”
“Wanita.”,
lagi-lagi jawaban singkat dari Draco. Ia menggulung kemeja kerjanya hingga ke
siku dan mulai kembali mengacak-acak rambut pirangnya. Poninya terjatuh di
depan dahinya. Membuat wajah aristokratnya semakin tampan.
“Astoria?”, tanya
Theo. Draco menganggukkan kepala.
“Dan Hermione
Granger.”, sambung Draco lesu. Rahang Theo terjatuh, menganga mendengar Draco
menyebut nama penyihir Muggle-born
terpintar di sekolahnya dulu.
“Granger???
Hermione Granger??”, ulang Theo, memastikan pendengarannya masih berfungsi
normal. Draco kembali menganggukkan kepala, kemudian tertunduk diatas meja.
“Wohoo! Tunggu, mate! Ada apa ini?? Mengapa Granger
menjadi masalahmu?”, raut wajah Theo menampakkan rasa penasaran. Draco
mengangkat kepala dari meja dan mulai bercerita tentang semuanya dari awal
bagaimana ia bisa menjalin hubungan dengan gadis yang dulu adalah musuhnya
semasa sekolah hingga akhirnya Astoria memergoki mereka saat sedang bersama.
Mulut Theo terbuka dan menutup berulang-ulang mirip ikan koi saat mendengar
cerita Draco. Ia tak menyangka seorang pureblood
seperti Draco bisa jatuh cinta pada seorang gadis muggle-born.
“Bisakah kau tidak
bertingkah bodoh seperti ikan kehabisan oksigen seperti itu, Nott?!”, Draco
merasa kesal melihat reaksi Theo saat ia bercerita. Theo tertawa.
“Sorry, mate! Tapi sungguh, aku benar-benar
terkejut mendengar ceritamu. Draco Lucius Malfoy bisa jatuh cinta pada Hermione
Granger?? Bloody hell!! Tunggu hingga
Blaise mengetahuinya. Pasti ia akan bereaksi sama sepertiku.”, Draco memberi
Theo death glare.
“Kau beritahu
Blaise, maka aku akan meng-crucio
mu!”, ancam Draco. Blaise memang sahabatnya, tapi untuk urusan seperti ini pria
bekulit eksotis itu kurang bisa dipercaya. Theo kembali tertawa. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. Masih tak percaya akan apa yang terjadi pada
Draco. Draco yang biasanya dikejar-kejar wanita, sekarang malah tak bisa
berkutik. Ia meneguk fire whiskey-nya.
“Lalu, apa yang
akan kau lakukan?”, tanya Theo.
“Itulah yang aku
pusingkan saat ini. Granger memintaku untuk meninggalkan Astoria. Tapi kau kan
tahu sendiri, Astoria begitu mencintaiku. Dari dulu ia tak mau lepas dariku.
Aku malah jadi takut sendiri ia nanti bunuh diri jika aku meninggalkannya.
Aarrghh...”, lagi-lagi Draco menggeram frustasi.
“Kau harus berani
mengambil resiko, mate. Kalau memang kau mencintai Granger, maka kau harus
melepaskan Astoria. Aku yakin, Astoria tak mungkin bunuh diri.”
“Tapi Astoria
selalu mengancam akan bunuh diri jika aku meninggalkannya, mate!”
“Mungkin itu hanya
gertakannya saja. Kalau kau memberinya penjelasan dengan cara yang baik pasti
dia akan mengerti.”, Draco agak terhenyak mendengar perkataan Theo. Sedikit tak
percaya. Theodore Nott yang dia kenal lebih brengsek darinya. Theo terkenal playboy dan doyan melakukan one-night-stand dengan setiap gadis yang
baru saja ditemuinya. Dan sekarang Theo yang ia kenal ini memberinya saran
dengan sangat elegan dan bijaksana saat mengatakannya. Draco menjitak kepala
Theo.
“Aaaww!! Apa-apaan
kau ini!! Main jitak kepala orang saja! Aku memberimu saran malah kau
membalasku seperti ini.”, Theo meringis mengusap kepalanya yang dijitak Draco.
“Aku hanya ingin
mengecek apakah kau benar-benar Theodore Nott yang aku kenal dan bukanlah orang
lain yang menyamar menggunakan ramuan polijus.”
, Theo mendelik kepada Draco, “Kata-kata mu sungguh berbeda dengan kelakuanmu, mate.”,imbuh Draco.
“Hei! Aku juga bisa
bersikap bijaksana sesekali.”, protes Theo. Ia bangkit dari duduknya dan
bergerak menuju perapian.
“Mau kemana kau?”,
tanya Draco. Theo tersenyum dan mengambil sejumput bubuk floo di dekat perapian.
“Royal Palace. Aku ada kencan.”, jawab
Theo sambil menyeringai. Royal Palace
adalah salah satu bar penyihir kelas atas yang dilengkapi dengan hotel mewah.
Draco hanya bisa geleng-geleng kepala saat asap hijau membuat sosok Theo
menghilang dari perapiannya.
OoO
Sudah 3 hari ini Hermione tak
bisa tidur. Ia selalu memikirkan Draco. Walaupun terkadang ia masih menangis.
Ia merenungi semua yang terjadi. Seakan masih tak percaya. Disaat ia mulai
menemukan kebahagiaan baru bersama Draco selepas dicampakkan Ron, datang
Astoria yang ternyata adalah kekasih Draco. Draco mengatakan bahwa
mencintainya. Tapi jika mengingat ekspresi Astoria malam itu, Hermione tahu
kalau Astoria begitu mencintai Draco. Ia meminta Draco untuk tak menemuinya
dahulu hingga Draco mampu memutuskan siapa yang akan dipilihnya. Tapi jauh di
lubuk hatinya, Hermione merasa bahwa Draco akan memilihnya. Draco akan
meninggalkan Astoria. Semua yang Draco lakukan untuknya terasa begitu tulus.
Teringat olehnya segala yang
telah dilakukannya bersama Draco. Hermione teringat makan malam romantis di
apartemen Draco. Wajah tampan Draco. Rambut pirang Draco. Senyum menawan Draco.
Ciuman Draco. Sentuhan Draco. Wangi tubuh Draco. Segalanya tentang Draco
Malfoy. Hermione menghela napas dalam-dalam. Mencoba meredakan kekalutan dalam
hatinya. Seseorang yang dulu selalu memanggilnya Mudblood, sekarang menjelma menjadi seseorang yang sangat berarti
baginya. Hermione tak ingin kehilangan Draco. Ia sadar ia telah jatuh ke dalam
pesona Draco. Dan saat bayangan kehidupan masa depan bersama Draco tiba-tiba
terlintas di pikirannya, Hermione langsung menggelengkan kepala. Terlalu cepat
untuk berharap seperti itu. Yang menjadi harapannya sekarang adalah Draco
memilihnya.
OoO
Diagon Alley.
Hermione terlihat sedang memasuki kedai es krim terkenal di Diagon
Alley. Yup,kini ia sudah berada di Florean
Fortescue’s Ice Cream Parlour. Entah kenapa, tapi hari ini ia ingin sekali
makan es krim disini untuk menjernihkan hati dan pikirannya. Sendirian. Melihat daftar menu dan ia pun memesan A
cocktail glass of choco ice cream with whipped cream and a wafer. Salah
satu varian baru dari Florean Fortescue’s
Ice Cream Parlour. Duduk termenung
sendirian di pinggir jendela, pikiran Hermione kembali teringat pada sosok
berambut pirang yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya. Draco Malfoy. Nama
itu kembali terlintas di benaknya. Lamunannya terhenti ketika seseorang
menyapanya.
“Granger?”,
Hermione menoleh ke asal suara tersebut dan cukup terkejut melihat siapa yang
ditemukannya disana.
“Nott??”, ternyata
Theodore Nott lah yang menyapanya tadi.
“Whoa! Suatu
kejutan bisa bertemu The Brightest Witch
of Our Age disini setelah sekian lama kita lulus dari Hogwarts”,ujar Theo,
seraya menyeringai, di tangannya terdapat segelas Choco Vanila Ice Cream. Hermione hanya tersenyum datar.
“Boleh aku duduk
disini?”, Theo menunjuk tempat duduk di depan Hermione, yang kemudian dijawab
dengan anggukan kepala gadis berambut cokelat itu.
“Apa kabar,Nott?”
“Baik, Granger.
Kau?”
“Lumayan.”, jawab
Hermione singkat,sambil menggigit wafer di es krim pesanannya.
“Lumayan baik atau
lumayan buruk?’, tanya Theo sembari menaikkan sebelah alisnya. Tampak Hermione
menghela napas,menunduk memandang es krimnya, tidak segera menjawab pertanyaan
Theo.
“Draco Malfoy.”,
Theo menyebutkan nama sahabatnya itu dan sukses membuat Hermione mengarahkan
pandangan kearahnya. Seringaian tercetak di wajah tampan pewaris tunggal Nott Inc. tersebut.
“Jadi benar karena
Draco Malfoy kau tampak termenung seperti ini?”, selidik Theo lebih lanjut.
“Bagaimana kau bisa
tahu?”, Hermione tak bisa menyembunyikan nada terkejut dan penasaran dalam
suaranya. Theo tergelak pelan.
“Draco menceritakan
semuanya padaku.”, dan sejurus kemudian Theo pun menceritakan semua yang Draco
katakan saat ia berkunjung ke kantor putra Lucius Malfoy tersebut. Hermione
mendengarkan dengan seksama. Draco mengatakan pada Theo bahwa Draco mulai
mencintainya. Itu yang Hermione tangkap dari cerita Theo.
“Tapi Astoria
Greengrass.....”, perkataan Hermione setelah Theo selesai bercerita harus
terpotong karena Theo menyelanya.
“Draco memang sudah
lama ingin berpisah dari Astoria. Tapi Astoria memang tidak ingin lepas dari
Draco. Dan kau tahu, kakak Astoria, Daphne, adalah sobat karib kami semasa
sekolah, hal itu semakin menambah beban Draco tak bisa segera memutuskan
Astoria”, jelas Theo.
“Tapi Malfoy sudah
pernah melakukan itu dengan
Greengrass. Hal itu yang membuatku masih sulit untuk menerima semua kenyataan
ini.”, ujar Hermione. Theo menaikkan sebelah alisnya.
“Itu?? Maksudmu?”, pancing Theo.
Sebenarnya ia sudah tahu apa yang dimaksud oleh Hermione. Gadis itu memutar
bola matanya dengan bosan.
“Ah! Seolah kau tak
tahu saja,Nott. Itu ya itu...”, Seringai tipis tercetak di
paras Theo. Hermione merutuk dalam hati, kenapa semua cowok Slytherin gemar
sekali menyeringai dan parahnya hal itu menambah ketampanan mereka. “Hentikan
seringaian konyolmu itu,Nott!”,ujar Hermione sebal.
“Hahaha, kau itu
aneh sekali, Granger! Bukankah hal seperti itu
wajar bagi sepasang kekasih. Untuk apa kau mempermasalahkan hal itu? Yang terpenting kan bahwa Draco
mencintaimu.”
Hermione
memalingkan wajahnya dari tatapan Theo. Ia merasa jengah karena bayangan Draco
sedang bercinta dengan Astoria sekilas melintas di pikirannya. Membuatnya jadi
kesal dan sedih. Theo yang menyadari gadis itu menghindari tatapannya kembali
bertanya.
“Jangan katakan
bahwa dulu kau tidak pernah melakukannya
dengan Si Redhead Weaselbee itu ?”, Hermione hanya diam. Mata Theo membulat tak
percaya. “Bloody Hell, Granger!
Jangan bilang kau masih perawan.”, Hermione membelalakkan matanya mendengar
ucapan Theo.
“Merlin! Kecilkan
suaramu, Nott!! Atau aku tak segan merapalkan mantra Langlock pada lidah ularmu itu!”, ancam Hermione. Theo seketika
menutup mulutnya. “Hal seperti itu
harusnya dilakukan dengan orang yang benar-benar kau cintai dan mencintaimu.
Sedangkan aku dulu belum yakin benar dengan perasaanku pada Ron. Meskipun kami
sudah cukup lama berpacaran.”, lanjut Hermione. Theo hanya mengangguk-anggukkan
kepala. Dalam hati ia merasa bahwa gadis di hadapannya ini berbeda dari gadis
lainnya yang pernah berhubungan dengan Draco. Pantas bila Draco menyukai gadis
ini.
“Percayalah pada
Draco, Granger. Dia benar-benar kacau waktu aku bertemu dengannya terakhir
kali. Aku mengatakan semua ini bukan karena diminta Draco. Karena aku sendiri
tidak menyangka kita akan berjumpa disini.”
Hermione hanya diam
membisu mendengar semua perkataan Theo. Separuh hatinya ingin mempercayai
Draco. Tapi sebagian masih terasa sakit mengingat kejadian waktu itu. Tepukan
Theo di bahunya menyadarkannya dari lamunan.
“Baiklah, Granger.
Aku rasa aku harus pergi. Cepat habiskan es krim milikmu itu sebelum meleleh
karena terlalu lama melamunkan wajah tampan Draco,”ujar Theo disambut pelototan
dan dengusan kesal Hermione.
“Nott!!”, sahut
Hermione dan Theo hanya tergelak sambil melambaikan tangan pada gadis itu.
Selepas Theo pergi, Hermione pun segera menghabiskan es krimnya.
OoO
Greengrass Manor
Gadis cantik bersurai hitam
manis itu menatap tak percaya pada pria di hadapannya itu. Apa yang ia takutkan
akhirnya terjadi juga. Wajah cantiknya bersimbah air mata. Maskaranya pun telah
luntur.
“ Tidak! Tidak,
Draco! Kau tak bisa melakukan ini!”, Astoria tak bisa menyembunyikan nada
ketakutan dalam suaranya. Ia mencengkeram erat lengan Draco dengan putus
asa. Draco sendiri tampak kalut
menghadapi masalah ini.
“Maafkan aku,
Astoria. Hubungan kita memang harus berakhir sampai disini.”
“Tidak, Draco!
Bahkan kedua orang tua kita sudah mulai menyiapkan pertunangan kita.
Kumohon,Draco. Jangan tinggalkan aku! Kau tahu, aku sangat mencintaimu.”,
Astoria terisak dan membenamkan wajahnya di dada Draco yang mau tak mau
memeluknya karena Draco tak tega melihatnya menangis seperti itu.
“Maaf. Aku tidak
bisa, Astoria. Kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku”, jelas Draco.
Ia melepaskan pelukan Astoria. Mulai mengacak rambutnya dengan frustasi. Kenapa
selalu seperti ini. Kenapa selalu susah untuk lepas dari Astoria. Gadis bungsu
keluarga Greengrass itu masih tetap terisak. Air matanya terus meleleh.
“Hanya karena
seorang mudblood kau
meninggalkanku?”, Draco tersentak mendengar Astoria mengucapkan kata mudblood.
“Cukup, Astoria!
Jangan pernah menyebut Hermione dengan sebutan itu lagi!”, desis Draco di sela
giginya yang terkatup.
“Bahkan sekarang kau
memanggilnya Hermione, Draco?”, mata Astoria membulat tak percaya, “Apakah ia
memberimu Amortentia hingga kau
seperti ini?”
“Tak setetespun
Amortentia yang diberikannya padaku. Aku memang mulai mencintainya.”, jawab
Draco, sambil kembali mengacak rambutnya mengerang putus asa. ‘Merlin! Demi hidung pesek Voldemort! Kenapa
aku harus mengalami hal seperti ini! Damn!!’, rutuk Draco dalam hati.
“Kau tak bisa
meninggalkanku,Draco! Setelah semua yang kita lakukan selama ini?”, Astoria
masih berharap Draco mau berubah pikiran, “Tidakkah kau ingat percintaan panas
kita selama ini? Aku selalu bisa memuaskan hasratmu, Draco. Granger belum tentu
bisa melakukannya.”, Draco malah merasa risih Astoria mengingatkannya pada
kisah panas mereka di ranjang.
“Please, Astoria! Jangan kau ungkit lagi
hal itu.”, pinta Draco, “Aku benar-benar minta maaf,Astoria. Hubungan kita
memang tidak bisa berlanjut. Aku tak mau menyakitimu lebih dalam lagi. Kumohon,
berbahagialah dengan pria lain. Kau tak akan bisa bahagia jika terus bersamaku,
karena rasa yang kumiliki untukmu dahulu sudah pudar. Maafkan aku...”, tangis
Astoria kembali pecah. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Telinganya
masih sulit mempercayai kata-kata Draco.
“Aku harus pergi.
Sekali lagi maafkan aku...”, Draco berpamitan dan mulai melangkah menuju
perapian untuk menggunakan jaringan floo.
Baru saja hendak mengambil sejumput bubuk floo
di dekat perapian, suara Astoria membuatnya kembali menolehkan kepalanya
menatap gadis itu.
“Selangkah lagi kau
masuk ke perapian itu, maka aku akan bunuh diri!”, tangan kanan Astoria sudah
memegang pisau perak yang tadi terletak di dekat tempat buah yang ada diatas
meja, dan mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Draco menatap ngeri dan
wajah pucatnya bertambah pucat.
To be continued...