Thursday, August 14, 2014

FanFiction :: The Gift - Chapter 4 ::



THE GIFT
*
*
*
*
*
All Characters Belongs To J.K.Rowling
||
||
Pair : Draco Malfoy X Hermione Granger
( 7 tahun setelah kejatuhan Voldemort )
WARNING : EYD berantakan, typos everywhere, alur kecepetan, OOC, geje. My First Fic.

“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap Hermione.....


Chapter 4

                Wajahnya tampak kusut karena terlalu bimbang menghadapi masalah ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sedari tadi ia hanya berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Beberapa map berisi perjanjian kontrak dengan berbagai perusahaan tampak terbengkalai di atas mejanya. Sesekali ia menggeram frustasi dengan mengacak rambut pirang pucatnya. Ya, Draco tampak agak tertekan. Di satu sisi ia belum bisa lepas dari Astoria. Tapi, disisi lain ia mulai mencintai Hermione. Ia menginginkan gadis itu. Dan Hermione sudah memberinya satu syarat malam itu. Malam dimana Astoria memergokinya tengah bersama Hermione.
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”, kata-kata Hermione kembali terngiang di telinganya. Wajah Hermione yang menangis malam itu  menghantui tidurnya. Sudah 3 hari ini ia tak bertemu dengan Miss-Know-It-All itu. Hermione menolak bertemu dengannya selama ia belum memutuskan pilihannya. Draco tak tahan jika tak bertemu dengan Hermione. Akhir-akhir ini ia selalu bertemu gadis itu setiap hari. Seolah Hermione adalah dopping wajib baginya.
“Aaarrrgghhh!!!!”, geram Draco frustasi. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Ia memijat pelipisnya sambil memejamkan mata. Pikirannya tertuju pada Astoria dan Hermione. Sudah berulang kali ia bermaksud memutuskan Astoria, tapi gadis itu tak mau. Astoria terlalu mencintainya. Ditambah lagi karena kakak Astoria, Daphne Greengrass, adalah salah satu kawan karibnya semasa sekolah dulu. Draco jadi tak enak hati. Astoria tak mau berpisah darinya karena apa yang ia lakukan bersama Astoria sudah cukup jauh. Tak hanya sekedar berciuman atau berpelukan. Draco bahkan sudah pernah tidur dengan Astoria. Atau lebih tepatnya bercinta dengan Astoria. Ya, Draco lah pria yang memerawani Astoria. Dan Draco teringat malam itu saat Hermione memintanya untuk meninggalkan Astoria, Hermione pun bertanya sudah sejauh apa hubungannya dengan si bungsu dari keluarga Greengrass itu, Draco menjawab jujur apa adanya. Ia merasa tak bisa berbohong pada Hermione.

~ Flashback ~
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap Hermione. Gadis itu memberinya pandangan terluka. ‘Shit!’, Draco mengumpat dalam hati. Dia merasa benar-benar brengsek. Tak tega melihat mantan musuhnya semasa sekolah itu menangis karena dirinya. Dan untuk sesaat ia merasa terkejut sendiri dengan apa yang dirasakannya. Bukankah memang sedari dulu seorang Draco Malfoy memang brengsek. Berapa banyak wanita yang jatuh bangun, hancur lebur dipermainkannya. Tapi lihat sekarang, seorang Hermione Granger bisa membuatnya merasa bersalah karena menyakiti hati seorang wanita. Tidak, bukan satu, tapi hati dua orang wanita. Hermione Granger dan Astoria Greengrass.
“Aku takut Astoria bunuh diri jika aku meninggalkannya, tapi aku mencintaimu Hermione”,jawab Draco lesu.
“ Sudah sejauh mana hubungan kalian hingga kau takut dia bunuh diri jika kau tinggalkan?”, tanya Hermione, masih menahan tangis. Draco tampak bingung menjawabnya, tapi ia merasa ia harus jujur untuk mendapatkan hati gadis itu.
“Jauh.”, jawab Draco singkat.
“Sejauh mana??”, Hermione mengulang kembali pertanyaannya.
“Kau pasti tahu.”, Draco menatap Hermione yang memberinya tatapan jelaskan-dengan-sejelas-jelasnya-atau-kucekoki-veritaserum. Draco menghela napas, “Baiklah. Akulah pria pertama bagi Astoria.”
Suara Hermione tercekat di tenggorokan. Tangisnya kembali meleleh. Raut wajahnya menampakkan sakit hati karena telah dibohongi dan mengetahui Draco sudah pernah tidur dengan Astoria. Hermione membuang muka. Draco memanggilnya.
“Hermione...”
“Pergi dari hadapanku, Malfoy! Jangan temui aku hingga kau bisa memutuskan pilihanmu!”, tegas Hermione, tanpa mau memandang Draco. Draco yang tampak bersalah hanya bisa terdiam. Sakit rasanya diusir oleh Hermione. Seorang Malfoy tidak pernah diusir seperti ini. Tapi Draco sadar ia memang salah. Bejat. Sudah membuat hati dua orang gadis terluka karenanya. Tangan Draco terangkat ingin membelai rambut Hermione, tapi gadis itu jelas-jelas menangis tak mau menatapnya. Maka, Draco mengurungkan niatnya. Ia menurunkan kembali tangannya dan pergi dari apartemen Hermione.
~ Flashback end ~

“Wajahmu kacau sekali,mate! Seperti perlu disetrika.”, suara Theo membuyarkan lamunannya. Tiba-tiba saja pria itu muncul di kantor Draco dari dalam perapian. Draco yang tadinya merenung agak sedikit terkejut.
“Kau mengagetkanku saja!”, kata Draco. Ia menyandarkan kepala pada kursinya. Theo berjalan menuju meja kecil di samping meja kerja Draco untuk mengambil segelas fire whiskey.
“Ada urusan apa kau kemari?”, tanya Draco datar, sambil memberi isyarat pada Theo agar mengambilkannya segelas fire whiskey juga.
“Tak ada apa-apa. Hanya ingin mampir saja. Aku agak malas untuk langsung pulang selepas dari kantor tadi.”, jawab Theo sambil menyerahkan gelas berisi fire whiskey pada Draco. Ia melirik ke meja Draco dan melihat banyak dokumen bertebaran disana. Ia mengrenyitkan dahinya dan memandang Draco yang tengah meneguk minumannya.
“Tak hanya wajahmu saja yang kacau, bahkan pekerjaanmu juga tampak kacau. Masa dokumen-dokumen penting seperti ini kau biarkan berserakan seperti ini?”, Theo pun duduk di depan Draco. Draco, tetap dengan wajah datarnya, memandang mejanya kemudian menatap Theo.
“Aku pusing.”, jawab Draco singkat. Theo merasa aneh dengan jawaban Draco. Setahunya, seorang Draco Malfoy tidak pernah terlihat pusing dan kacau seperti ini.
“Whoa! Ada apa,mate?”
“Wanita.”, lagi-lagi jawaban singkat dari Draco. Ia menggulung kemeja kerjanya hingga ke siku dan mulai kembali mengacak-acak rambut pirangnya. Poninya terjatuh di depan dahinya. Membuat wajah aristokratnya semakin tampan.
“Astoria?”, tanya Theo. Draco menganggukkan kepala.
“Dan Hermione Granger.”, sambung Draco lesu. Rahang Theo terjatuh, menganga mendengar Draco menyebut nama penyihir Muggle-born terpintar di sekolahnya dulu.
“Granger??? Hermione Granger??”, ulang Theo, memastikan pendengarannya masih berfungsi normal. Draco kembali menganggukkan kepala, kemudian tertunduk diatas meja.
“Wohoo! Tunggu, mate! Ada apa ini?? Mengapa Granger menjadi masalahmu?”, raut wajah Theo menampakkan rasa penasaran. Draco mengangkat kepala dari meja dan mulai bercerita tentang semuanya dari awal bagaimana ia bisa menjalin hubungan dengan gadis yang dulu adalah musuhnya semasa sekolah hingga akhirnya Astoria memergoki mereka saat sedang bersama. Mulut Theo terbuka dan menutup berulang-ulang mirip ikan koi saat mendengar cerita Draco. Ia tak menyangka seorang pureblood seperti Draco bisa jatuh cinta pada seorang gadis muggle-born.
“Bisakah kau tidak bertingkah bodoh seperti ikan kehabisan oksigen seperti itu, Nott?!”, Draco merasa kesal melihat reaksi Theo saat ia bercerita. Theo tertawa.
Sorry, mate! Tapi sungguh, aku benar-benar terkejut mendengar ceritamu. Draco Lucius Malfoy bisa jatuh cinta pada Hermione Granger?? Bloody hell!! Tunggu hingga Blaise mengetahuinya. Pasti ia akan bereaksi sama sepertiku.”, Draco memberi Theo death glare.
“Kau beritahu Blaise, maka aku akan meng-crucio mu!”, ancam Draco. Blaise memang sahabatnya, tapi untuk urusan seperti ini pria bekulit eksotis itu kurang bisa dipercaya. Theo kembali tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Masih tak percaya akan apa yang terjadi pada Draco. Draco yang biasanya dikejar-kejar wanita, sekarang malah tak bisa berkutik. Ia meneguk fire whiskey-nya.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”, tanya Theo.
“Itulah yang aku pusingkan saat ini. Granger memintaku untuk meninggalkan Astoria. Tapi kau kan tahu sendiri, Astoria begitu mencintaiku. Dari dulu ia tak mau lepas dariku. Aku malah jadi takut sendiri ia nanti bunuh diri jika aku meninggalkannya. Aarrghh...”, lagi-lagi Draco menggeram frustasi.
“Kau harus berani mengambil resiko, mate. Kalau memang kau mencintai Granger, maka kau harus melepaskan Astoria. Aku yakin, Astoria tak mungkin bunuh diri.”
“Tapi Astoria selalu mengancam akan bunuh diri jika aku meninggalkannya, mate!”
“Mungkin itu hanya gertakannya saja. Kalau kau memberinya penjelasan dengan cara yang baik pasti dia akan mengerti.”, Draco agak terhenyak mendengar perkataan Theo. Sedikit tak percaya. Theodore Nott yang dia kenal lebih brengsek darinya. Theo terkenal playboy dan doyan melakukan one-night-stand dengan setiap gadis yang baru saja ditemuinya. Dan sekarang Theo yang ia kenal ini memberinya saran dengan sangat elegan dan bijaksana saat mengatakannya. Draco menjitak kepala Theo.
“Aaaww!! Apa-apaan kau ini!! Main jitak kepala orang saja! Aku memberimu saran malah kau membalasku seperti ini.”, Theo meringis mengusap kepalanya yang dijitak Draco.
“Aku hanya ingin mengecek apakah kau benar-benar Theodore Nott yang aku kenal dan bukanlah orang lain yang menyamar menggunakan ramuan polijus.” , Theo mendelik kepada Draco, “Kata-kata mu sungguh berbeda dengan kelakuanmu, mate.”,imbuh Draco.
“Hei! Aku juga bisa bersikap bijaksana sesekali.”, protes Theo. Ia bangkit dari duduknya dan bergerak menuju perapian.
“Mau kemana kau?”, tanya Draco. Theo tersenyum dan mengambil sejumput bubuk floo di dekat perapian.
Royal Palace. Aku ada kencan.”, jawab Theo sambil menyeringai. Royal Palace adalah salah satu bar penyihir kelas atas yang dilengkapi dengan hotel mewah. Draco hanya bisa geleng-geleng kepala saat asap hijau membuat sosok Theo menghilang dari perapiannya.

OoO

                Sudah 3 hari ini Hermione tak bisa tidur. Ia selalu memikirkan Draco. Walaupun terkadang ia masih menangis. Ia merenungi semua yang terjadi. Seakan masih tak percaya. Disaat ia mulai menemukan kebahagiaan baru bersama Draco selepas dicampakkan Ron, datang Astoria yang ternyata adalah kekasih Draco. Draco mengatakan bahwa mencintainya. Tapi jika mengingat ekspresi Astoria malam itu, Hermione tahu kalau Astoria begitu mencintai Draco. Ia meminta Draco untuk tak menemuinya dahulu hingga Draco mampu memutuskan siapa yang akan dipilihnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, Hermione merasa bahwa Draco akan memilihnya. Draco akan meninggalkan Astoria. Semua yang Draco lakukan untuknya terasa begitu tulus.
                Teringat olehnya segala yang telah dilakukannya bersama Draco. Hermione teringat makan malam romantis di apartemen Draco. Wajah tampan Draco. Rambut pirang Draco. Senyum menawan Draco. Ciuman Draco. Sentuhan Draco. Wangi tubuh Draco. Segalanya tentang Draco Malfoy. Hermione menghela napas dalam-dalam. Mencoba meredakan kekalutan dalam hatinya. Seseorang yang dulu selalu memanggilnya Mudblood, sekarang menjelma menjadi seseorang yang sangat berarti baginya. Hermione tak ingin kehilangan Draco. Ia sadar ia telah jatuh ke dalam pesona Draco. Dan saat bayangan kehidupan masa depan bersama Draco tiba-tiba terlintas di pikirannya, Hermione langsung menggelengkan kepala. Terlalu cepat untuk berharap seperti itu. Yang menjadi harapannya sekarang adalah Draco memilihnya.

OoO

                Diagon Alley.
                Hermione terlihat sedang memasuki kedai es krim terkenal di Diagon Alley. Yup,kini ia sudah berada di Florean Fortescue’s Ice Cream  Parlour.  Entah kenapa, tapi hari ini ia ingin sekali makan es krim disini untuk menjernihkan hati dan pikirannya. Sendirian.  Melihat daftar menu dan ia pun memesan  A cocktail glass of choco ice cream with whipped cream and a wafer. Salah satu varian baru dari Florean Fortescue’s Ice Cream  Parlour. Duduk termenung sendirian di pinggir jendela, pikiran Hermione kembali teringat pada sosok berambut pirang yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya. Draco Malfoy. Nama itu kembali terlintas di benaknya. Lamunannya terhenti ketika seseorang menyapanya.
“Granger?”, Hermione menoleh ke asal suara tersebut dan cukup terkejut melihat siapa yang ditemukannya disana.
“Nott??”, ternyata Theodore Nott lah yang menyapanya tadi.
“Whoa! Suatu kejutan bisa bertemu The Brightest Witch of Our Age disini setelah sekian lama kita lulus dari Hogwarts”,ujar Theo, seraya menyeringai, di tangannya terdapat segelas Choco Vanila Ice Cream. Hermione hanya tersenyum datar.
“Boleh aku duduk disini?”, Theo menunjuk tempat duduk di depan Hermione, yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala gadis berambut cokelat itu.
“Apa kabar,Nott?”
“Baik, Granger. Kau?”
“Lumayan.”, jawab Hermione singkat,sambil menggigit wafer di es krim pesanannya.
“Lumayan baik atau lumayan buruk?’, tanya Theo sembari menaikkan sebelah alisnya. Tampak Hermione menghela napas,menunduk memandang es krimnya, tidak segera menjawab pertanyaan Theo.
“Draco Malfoy.”, Theo menyebutkan nama sahabatnya itu dan sukses membuat Hermione mengarahkan pandangan kearahnya. Seringaian tercetak di wajah tampan pewaris tunggal Nott Inc.  tersebut.
“Jadi benar karena Draco Malfoy kau tampak termenung seperti ini?”, selidik Theo lebih lanjut.
“Bagaimana kau bisa tahu?”, Hermione tak bisa menyembunyikan nada terkejut dan penasaran dalam suaranya. Theo tergelak pelan.
“Draco menceritakan semuanya padaku.”, dan sejurus kemudian Theo pun menceritakan semua yang Draco katakan saat ia berkunjung ke kantor putra Lucius Malfoy tersebut. Hermione mendengarkan dengan seksama. Draco mengatakan pada Theo bahwa Draco mulai mencintainya. Itu yang Hermione tangkap dari cerita Theo.
“Tapi Astoria Greengrass.....”, perkataan Hermione setelah Theo selesai bercerita harus terpotong karena Theo menyelanya.
“Draco memang sudah lama ingin berpisah dari Astoria. Tapi Astoria memang tidak ingin lepas dari Draco. Dan kau tahu, kakak Astoria, Daphne, adalah sobat karib kami semasa sekolah, hal itu semakin menambah beban Draco tak bisa segera memutuskan Astoria”, jelas Theo.
“Tapi Malfoy sudah pernah melakukan itu dengan Greengrass. Hal itu yang membuatku masih sulit untuk menerima semua kenyataan ini.”, ujar Hermione. Theo menaikkan sebelah alisnya.
Itu?? Maksudmu?”, pancing Theo. Sebenarnya ia sudah tahu apa yang dimaksud oleh Hermione. Gadis itu memutar bola matanya dengan bosan.
“Ah! Seolah kau tak tahu saja,Nott. Itu ya itu...”, Seringai tipis tercetak di paras Theo. Hermione merutuk dalam hati, kenapa semua cowok Slytherin gemar sekali menyeringai dan parahnya hal itu menambah ketampanan mereka. “Hentikan seringaian konyolmu itu,Nott!”,ujar Hermione sebal.
“Hahaha, kau itu aneh sekali, Granger! Bukankah hal seperti itu wajar bagi sepasang kekasih. Untuk apa kau mempermasalahkan hal itu? Yang terpenting kan bahwa Draco mencintaimu.”
Hermione memalingkan wajahnya dari tatapan Theo. Ia merasa jengah karena bayangan Draco sedang bercinta dengan Astoria sekilas melintas di pikirannya. Membuatnya jadi kesal dan sedih. Theo yang menyadari gadis itu menghindari tatapannya kembali bertanya.
“Jangan katakan bahwa dulu kau tidak pernah melakukannya dengan Si Redhead Weaselbee itu ?”, Hermione hanya diam. Mata Theo membulat tak percaya. “Bloody Hell, Granger! Jangan bilang kau masih perawan.”, Hermione membelalakkan matanya mendengar ucapan Theo.
“Merlin! Kecilkan suaramu, Nott!! Atau aku tak segan merapalkan mantra Langlock pada lidah ularmu itu!”, ancam Hermione. Theo seketika menutup mulutnya. “Hal seperti itu harusnya dilakukan dengan orang yang benar-benar kau cintai dan mencintaimu. Sedangkan aku dulu belum yakin benar dengan perasaanku pada Ron. Meskipun kami sudah cukup lama berpacaran.”, lanjut Hermione. Theo hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati ia merasa bahwa gadis di hadapannya ini berbeda dari gadis lainnya yang pernah berhubungan dengan Draco. Pantas bila Draco menyukai gadis ini.
“Percayalah pada Draco, Granger. Dia benar-benar kacau waktu aku bertemu dengannya terakhir kali. Aku mengatakan semua ini bukan karena diminta Draco. Karena aku sendiri tidak menyangka kita akan berjumpa disini.”
Hermione hanya diam membisu mendengar semua perkataan Theo. Separuh hatinya ingin mempercayai Draco. Tapi sebagian masih terasa sakit mengingat kejadian waktu itu. Tepukan Theo di bahunya menyadarkannya dari lamunan.
“Baiklah, Granger. Aku rasa aku harus pergi. Cepat habiskan es krim milikmu itu sebelum meleleh karena terlalu lama melamunkan wajah tampan Draco,”ujar Theo disambut pelototan dan dengusan kesal Hermione.
“Nott!!”, sahut Hermione dan Theo hanya tergelak sambil melambaikan tangan pada gadis itu. Selepas Theo pergi, Hermione pun segera menghabiskan es krimnya.

OoO

                Greengrass Manor
                Gadis cantik bersurai hitam manis itu menatap tak percaya pada pria di hadapannya itu. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi juga. Wajah cantiknya bersimbah air mata. Maskaranya pun telah luntur.
“ Tidak! Tidak, Draco! Kau tak bisa melakukan ini!”, Astoria tak bisa menyembunyikan nada ketakutan dalam suaranya. Ia mencengkeram erat lengan Draco dengan putus asa.  Draco sendiri tampak kalut menghadapi masalah ini.
“Maafkan aku, Astoria. Hubungan kita memang harus berakhir sampai disini.”
“Tidak, Draco! Bahkan kedua orang tua kita sudah mulai menyiapkan pertunangan kita. Kumohon,Draco. Jangan tinggalkan aku! Kau tahu, aku sangat mencintaimu.”, Astoria terisak dan membenamkan wajahnya di dada Draco yang mau tak mau memeluknya karena Draco tak tega melihatnya menangis seperti itu.
“Maaf. Aku tidak bisa, Astoria. Kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku”, jelas Draco. Ia melepaskan pelukan Astoria. Mulai mengacak rambutnya dengan frustasi. Kenapa selalu seperti ini. Kenapa selalu susah untuk lepas dari Astoria. Gadis bungsu keluarga Greengrass itu masih tetap terisak. Air matanya terus meleleh.
“Hanya karena seorang mudblood kau meninggalkanku?”, Draco tersentak mendengar Astoria mengucapkan kata mudblood.
“Cukup, Astoria! Jangan pernah menyebut Hermione dengan sebutan itu lagi!”, desis Draco di sela giginya yang terkatup.
“Bahkan sekarang kau memanggilnya Hermione, Draco?”, mata Astoria membulat tak percaya, “Apakah ia memberimu Amortentia hingga kau seperti ini?”
“Tak setetespun Amortentia yang diberikannya padaku. Aku memang mulai mencintainya.”, jawab Draco, sambil kembali mengacak rambutnya mengerang putus asa. ‘Merlin! Demi hidung pesek Voldemort! Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini! Damn!!’, rutuk Draco dalam hati.
“Kau tak bisa meninggalkanku,Draco! Setelah semua yang kita lakukan selama ini?”, Astoria masih berharap Draco mau berubah pikiran, “Tidakkah kau ingat percintaan panas kita selama ini? Aku selalu bisa memuaskan hasratmu, Draco. Granger belum tentu bisa melakukannya.”, Draco malah merasa risih Astoria mengingatkannya pada kisah panas mereka di ranjang.
Please, Astoria! Jangan kau ungkit lagi hal itu.”, pinta Draco, “Aku benar-benar minta maaf,Astoria. Hubungan kita memang tidak bisa berlanjut. Aku tak mau menyakitimu lebih dalam lagi. Kumohon, berbahagialah dengan pria lain. Kau tak akan bisa bahagia jika terus bersamaku, karena rasa yang kumiliki untukmu dahulu sudah pudar. Maafkan aku...”, tangis Astoria kembali pecah. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Telinganya masih sulit mempercayai kata-kata Draco.
“Aku harus pergi. Sekali lagi maafkan aku...”, Draco berpamitan dan mulai melangkah menuju perapian untuk menggunakan jaringan floo. Baru saja hendak mengambil sejumput bubuk floo di dekat perapian, suara Astoria membuatnya kembali menolehkan kepalanya menatap gadis itu.
“Selangkah lagi kau masuk ke perapian itu, maka aku akan bunuh diri!”, tangan kanan Astoria sudah memegang pisau perak yang tadi terletak di dekat tempat buah yang ada diatas meja, dan mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Draco menatap ngeri dan wajah pucatnya bertambah pucat.


To be continued...

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.