Thursday, August 14, 2014

FanFiction :: The Gift - Chapter 4 ::



THE GIFT
*
*
*
*
*
All Characters Belongs To J.K.Rowling
||
||
Pair : Draco Malfoy X Hermione Granger
( 7 tahun setelah kejatuhan Voldemort )
WARNING : EYD berantakan, typos everywhere, alur kecepetan, OOC, geje. My First Fic.

“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap Hermione.....


Chapter 4

                Wajahnya tampak kusut karena terlalu bimbang menghadapi masalah ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sedari tadi ia hanya berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Beberapa map berisi perjanjian kontrak dengan berbagai perusahaan tampak terbengkalai di atas mejanya. Sesekali ia menggeram frustasi dengan mengacak rambut pirang pucatnya. Ya, Draco tampak agak tertekan. Di satu sisi ia belum bisa lepas dari Astoria. Tapi, disisi lain ia mulai mencintai Hermione. Ia menginginkan gadis itu. Dan Hermione sudah memberinya satu syarat malam itu. Malam dimana Astoria memergokinya tengah bersama Hermione.
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”, kata-kata Hermione kembali terngiang di telinganya. Wajah Hermione yang menangis malam itu  menghantui tidurnya. Sudah 3 hari ini ia tak bertemu dengan Miss-Know-It-All itu. Hermione menolak bertemu dengannya selama ia belum memutuskan pilihannya. Draco tak tahan jika tak bertemu dengan Hermione. Akhir-akhir ini ia selalu bertemu gadis itu setiap hari. Seolah Hermione adalah dopping wajib baginya.
“Aaarrrgghhh!!!!”, geram Draco frustasi. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Ia memijat pelipisnya sambil memejamkan mata. Pikirannya tertuju pada Astoria dan Hermione. Sudah berulang kali ia bermaksud memutuskan Astoria, tapi gadis itu tak mau. Astoria terlalu mencintainya. Ditambah lagi karena kakak Astoria, Daphne Greengrass, adalah salah satu kawan karibnya semasa sekolah dulu. Draco jadi tak enak hati. Astoria tak mau berpisah darinya karena apa yang ia lakukan bersama Astoria sudah cukup jauh. Tak hanya sekedar berciuman atau berpelukan. Draco bahkan sudah pernah tidur dengan Astoria. Atau lebih tepatnya bercinta dengan Astoria. Ya, Draco lah pria yang memerawani Astoria. Dan Draco teringat malam itu saat Hermione memintanya untuk meninggalkan Astoria, Hermione pun bertanya sudah sejauh apa hubungannya dengan si bungsu dari keluarga Greengrass itu, Draco menjawab jujur apa adanya. Ia merasa tak bisa berbohong pada Hermione.

~ Flashback ~
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap Hermione. Gadis itu memberinya pandangan terluka. ‘Shit!’, Draco mengumpat dalam hati. Dia merasa benar-benar brengsek. Tak tega melihat mantan musuhnya semasa sekolah itu menangis karena dirinya. Dan untuk sesaat ia merasa terkejut sendiri dengan apa yang dirasakannya. Bukankah memang sedari dulu seorang Draco Malfoy memang brengsek. Berapa banyak wanita yang jatuh bangun, hancur lebur dipermainkannya. Tapi lihat sekarang, seorang Hermione Granger bisa membuatnya merasa bersalah karena menyakiti hati seorang wanita. Tidak, bukan satu, tapi hati dua orang wanita. Hermione Granger dan Astoria Greengrass.
“Aku takut Astoria bunuh diri jika aku meninggalkannya, tapi aku mencintaimu Hermione”,jawab Draco lesu.
“ Sudah sejauh mana hubungan kalian hingga kau takut dia bunuh diri jika kau tinggalkan?”, tanya Hermione, masih menahan tangis. Draco tampak bingung menjawabnya, tapi ia merasa ia harus jujur untuk mendapatkan hati gadis itu.
“Jauh.”, jawab Draco singkat.
“Sejauh mana??”, Hermione mengulang kembali pertanyaannya.
“Kau pasti tahu.”, Draco menatap Hermione yang memberinya tatapan jelaskan-dengan-sejelas-jelasnya-atau-kucekoki-veritaserum. Draco menghela napas, “Baiklah. Akulah pria pertama bagi Astoria.”
Suara Hermione tercekat di tenggorokan. Tangisnya kembali meleleh. Raut wajahnya menampakkan sakit hati karena telah dibohongi dan mengetahui Draco sudah pernah tidur dengan Astoria. Hermione membuang muka. Draco memanggilnya.
“Hermione...”
“Pergi dari hadapanku, Malfoy! Jangan temui aku hingga kau bisa memutuskan pilihanmu!”, tegas Hermione, tanpa mau memandang Draco. Draco yang tampak bersalah hanya bisa terdiam. Sakit rasanya diusir oleh Hermione. Seorang Malfoy tidak pernah diusir seperti ini. Tapi Draco sadar ia memang salah. Bejat. Sudah membuat hati dua orang gadis terluka karenanya. Tangan Draco terangkat ingin membelai rambut Hermione, tapi gadis itu jelas-jelas menangis tak mau menatapnya. Maka, Draco mengurungkan niatnya. Ia menurunkan kembali tangannya dan pergi dari apartemen Hermione.
~ Flashback end ~

“Wajahmu kacau sekali,mate! Seperti perlu disetrika.”, suara Theo membuyarkan lamunannya. Tiba-tiba saja pria itu muncul di kantor Draco dari dalam perapian. Draco yang tadinya merenung agak sedikit terkejut.
“Kau mengagetkanku saja!”, kata Draco. Ia menyandarkan kepala pada kursinya. Theo berjalan menuju meja kecil di samping meja kerja Draco untuk mengambil segelas fire whiskey.
“Ada urusan apa kau kemari?”, tanya Draco datar, sambil memberi isyarat pada Theo agar mengambilkannya segelas fire whiskey juga.
“Tak ada apa-apa. Hanya ingin mampir saja. Aku agak malas untuk langsung pulang selepas dari kantor tadi.”, jawab Theo sambil menyerahkan gelas berisi fire whiskey pada Draco. Ia melirik ke meja Draco dan melihat banyak dokumen bertebaran disana. Ia mengrenyitkan dahinya dan memandang Draco yang tengah meneguk minumannya.
“Tak hanya wajahmu saja yang kacau, bahkan pekerjaanmu juga tampak kacau. Masa dokumen-dokumen penting seperti ini kau biarkan berserakan seperti ini?”, Theo pun duduk di depan Draco. Draco, tetap dengan wajah datarnya, memandang mejanya kemudian menatap Theo.
“Aku pusing.”, jawab Draco singkat. Theo merasa aneh dengan jawaban Draco. Setahunya, seorang Draco Malfoy tidak pernah terlihat pusing dan kacau seperti ini.
“Whoa! Ada apa,mate?”
“Wanita.”, lagi-lagi jawaban singkat dari Draco. Ia menggulung kemeja kerjanya hingga ke siku dan mulai kembali mengacak-acak rambut pirangnya. Poninya terjatuh di depan dahinya. Membuat wajah aristokratnya semakin tampan.
“Astoria?”, tanya Theo. Draco menganggukkan kepala.
“Dan Hermione Granger.”, sambung Draco lesu. Rahang Theo terjatuh, menganga mendengar Draco menyebut nama penyihir Muggle-born terpintar di sekolahnya dulu.
“Granger??? Hermione Granger??”, ulang Theo, memastikan pendengarannya masih berfungsi normal. Draco kembali menganggukkan kepala, kemudian tertunduk diatas meja.
“Wohoo! Tunggu, mate! Ada apa ini?? Mengapa Granger menjadi masalahmu?”, raut wajah Theo menampakkan rasa penasaran. Draco mengangkat kepala dari meja dan mulai bercerita tentang semuanya dari awal bagaimana ia bisa menjalin hubungan dengan gadis yang dulu adalah musuhnya semasa sekolah hingga akhirnya Astoria memergoki mereka saat sedang bersama. Mulut Theo terbuka dan menutup berulang-ulang mirip ikan koi saat mendengar cerita Draco. Ia tak menyangka seorang pureblood seperti Draco bisa jatuh cinta pada seorang gadis muggle-born.
“Bisakah kau tidak bertingkah bodoh seperti ikan kehabisan oksigen seperti itu, Nott?!”, Draco merasa kesal melihat reaksi Theo saat ia bercerita. Theo tertawa.
Sorry, mate! Tapi sungguh, aku benar-benar terkejut mendengar ceritamu. Draco Lucius Malfoy bisa jatuh cinta pada Hermione Granger?? Bloody hell!! Tunggu hingga Blaise mengetahuinya. Pasti ia akan bereaksi sama sepertiku.”, Draco memberi Theo death glare.
“Kau beritahu Blaise, maka aku akan meng-crucio mu!”, ancam Draco. Blaise memang sahabatnya, tapi untuk urusan seperti ini pria bekulit eksotis itu kurang bisa dipercaya. Theo kembali tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Masih tak percaya akan apa yang terjadi pada Draco. Draco yang biasanya dikejar-kejar wanita, sekarang malah tak bisa berkutik. Ia meneguk fire whiskey-nya.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”, tanya Theo.
“Itulah yang aku pusingkan saat ini. Granger memintaku untuk meninggalkan Astoria. Tapi kau kan tahu sendiri, Astoria begitu mencintaiku. Dari dulu ia tak mau lepas dariku. Aku malah jadi takut sendiri ia nanti bunuh diri jika aku meninggalkannya. Aarrghh...”, lagi-lagi Draco menggeram frustasi.
“Kau harus berani mengambil resiko, mate. Kalau memang kau mencintai Granger, maka kau harus melepaskan Astoria. Aku yakin, Astoria tak mungkin bunuh diri.”
“Tapi Astoria selalu mengancam akan bunuh diri jika aku meninggalkannya, mate!”
“Mungkin itu hanya gertakannya saja. Kalau kau memberinya penjelasan dengan cara yang baik pasti dia akan mengerti.”, Draco agak terhenyak mendengar perkataan Theo. Sedikit tak percaya. Theodore Nott yang dia kenal lebih brengsek darinya. Theo terkenal playboy dan doyan melakukan one-night-stand dengan setiap gadis yang baru saja ditemuinya. Dan sekarang Theo yang ia kenal ini memberinya saran dengan sangat elegan dan bijaksana saat mengatakannya. Draco menjitak kepala Theo.
“Aaaww!! Apa-apaan kau ini!! Main jitak kepala orang saja! Aku memberimu saran malah kau membalasku seperti ini.”, Theo meringis mengusap kepalanya yang dijitak Draco.
“Aku hanya ingin mengecek apakah kau benar-benar Theodore Nott yang aku kenal dan bukanlah orang lain yang menyamar menggunakan ramuan polijus.” , Theo mendelik kepada Draco, “Kata-kata mu sungguh berbeda dengan kelakuanmu, mate.”,imbuh Draco.
“Hei! Aku juga bisa bersikap bijaksana sesekali.”, protes Theo. Ia bangkit dari duduknya dan bergerak menuju perapian.
“Mau kemana kau?”, tanya Draco. Theo tersenyum dan mengambil sejumput bubuk floo di dekat perapian.
Royal Palace. Aku ada kencan.”, jawab Theo sambil menyeringai. Royal Palace adalah salah satu bar penyihir kelas atas yang dilengkapi dengan hotel mewah. Draco hanya bisa geleng-geleng kepala saat asap hijau membuat sosok Theo menghilang dari perapiannya.

OoO

                Sudah 3 hari ini Hermione tak bisa tidur. Ia selalu memikirkan Draco. Walaupun terkadang ia masih menangis. Ia merenungi semua yang terjadi. Seakan masih tak percaya. Disaat ia mulai menemukan kebahagiaan baru bersama Draco selepas dicampakkan Ron, datang Astoria yang ternyata adalah kekasih Draco. Draco mengatakan bahwa mencintainya. Tapi jika mengingat ekspresi Astoria malam itu, Hermione tahu kalau Astoria begitu mencintai Draco. Ia meminta Draco untuk tak menemuinya dahulu hingga Draco mampu memutuskan siapa yang akan dipilihnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, Hermione merasa bahwa Draco akan memilihnya. Draco akan meninggalkan Astoria. Semua yang Draco lakukan untuknya terasa begitu tulus.
                Teringat olehnya segala yang telah dilakukannya bersama Draco. Hermione teringat makan malam romantis di apartemen Draco. Wajah tampan Draco. Rambut pirang Draco. Senyum menawan Draco. Ciuman Draco. Sentuhan Draco. Wangi tubuh Draco. Segalanya tentang Draco Malfoy. Hermione menghela napas dalam-dalam. Mencoba meredakan kekalutan dalam hatinya. Seseorang yang dulu selalu memanggilnya Mudblood, sekarang menjelma menjadi seseorang yang sangat berarti baginya. Hermione tak ingin kehilangan Draco. Ia sadar ia telah jatuh ke dalam pesona Draco. Dan saat bayangan kehidupan masa depan bersama Draco tiba-tiba terlintas di pikirannya, Hermione langsung menggelengkan kepala. Terlalu cepat untuk berharap seperti itu. Yang menjadi harapannya sekarang adalah Draco memilihnya.

OoO

                Diagon Alley.
                Hermione terlihat sedang memasuki kedai es krim terkenal di Diagon Alley. Yup,kini ia sudah berada di Florean Fortescue’s Ice Cream  Parlour.  Entah kenapa, tapi hari ini ia ingin sekali makan es krim disini untuk menjernihkan hati dan pikirannya. Sendirian.  Melihat daftar menu dan ia pun memesan  A cocktail glass of choco ice cream with whipped cream and a wafer. Salah satu varian baru dari Florean Fortescue’s Ice Cream  Parlour. Duduk termenung sendirian di pinggir jendela, pikiran Hermione kembali teringat pada sosok berambut pirang yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya. Draco Malfoy. Nama itu kembali terlintas di benaknya. Lamunannya terhenti ketika seseorang menyapanya.
“Granger?”, Hermione menoleh ke asal suara tersebut dan cukup terkejut melihat siapa yang ditemukannya disana.
“Nott??”, ternyata Theodore Nott lah yang menyapanya tadi.
“Whoa! Suatu kejutan bisa bertemu The Brightest Witch of Our Age disini setelah sekian lama kita lulus dari Hogwarts”,ujar Theo, seraya menyeringai, di tangannya terdapat segelas Choco Vanila Ice Cream. Hermione hanya tersenyum datar.
“Boleh aku duduk disini?”, Theo menunjuk tempat duduk di depan Hermione, yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala gadis berambut cokelat itu.
“Apa kabar,Nott?”
“Baik, Granger. Kau?”
“Lumayan.”, jawab Hermione singkat,sambil menggigit wafer di es krim pesanannya.
“Lumayan baik atau lumayan buruk?’, tanya Theo sembari menaikkan sebelah alisnya. Tampak Hermione menghela napas,menunduk memandang es krimnya, tidak segera menjawab pertanyaan Theo.
“Draco Malfoy.”, Theo menyebutkan nama sahabatnya itu dan sukses membuat Hermione mengarahkan pandangan kearahnya. Seringaian tercetak di wajah tampan pewaris tunggal Nott Inc.  tersebut.
“Jadi benar karena Draco Malfoy kau tampak termenung seperti ini?”, selidik Theo lebih lanjut.
“Bagaimana kau bisa tahu?”, Hermione tak bisa menyembunyikan nada terkejut dan penasaran dalam suaranya. Theo tergelak pelan.
“Draco menceritakan semuanya padaku.”, dan sejurus kemudian Theo pun menceritakan semua yang Draco katakan saat ia berkunjung ke kantor putra Lucius Malfoy tersebut. Hermione mendengarkan dengan seksama. Draco mengatakan pada Theo bahwa Draco mulai mencintainya. Itu yang Hermione tangkap dari cerita Theo.
“Tapi Astoria Greengrass.....”, perkataan Hermione setelah Theo selesai bercerita harus terpotong karena Theo menyelanya.
“Draco memang sudah lama ingin berpisah dari Astoria. Tapi Astoria memang tidak ingin lepas dari Draco. Dan kau tahu, kakak Astoria, Daphne, adalah sobat karib kami semasa sekolah, hal itu semakin menambah beban Draco tak bisa segera memutuskan Astoria”, jelas Theo.
“Tapi Malfoy sudah pernah melakukan itu dengan Greengrass. Hal itu yang membuatku masih sulit untuk menerima semua kenyataan ini.”, ujar Hermione. Theo menaikkan sebelah alisnya.
Itu?? Maksudmu?”, pancing Theo. Sebenarnya ia sudah tahu apa yang dimaksud oleh Hermione. Gadis itu memutar bola matanya dengan bosan.
“Ah! Seolah kau tak tahu saja,Nott. Itu ya itu...”, Seringai tipis tercetak di paras Theo. Hermione merutuk dalam hati, kenapa semua cowok Slytherin gemar sekali menyeringai dan parahnya hal itu menambah ketampanan mereka. “Hentikan seringaian konyolmu itu,Nott!”,ujar Hermione sebal.
“Hahaha, kau itu aneh sekali, Granger! Bukankah hal seperti itu wajar bagi sepasang kekasih. Untuk apa kau mempermasalahkan hal itu? Yang terpenting kan bahwa Draco mencintaimu.”
Hermione memalingkan wajahnya dari tatapan Theo. Ia merasa jengah karena bayangan Draco sedang bercinta dengan Astoria sekilas melintas di pikirannya. Membuatnya jadi kesal dan sedih. Theo yang menyadari gadis itu menghindari tatapannya kembali bertanya.
“Jangan katakan bahwa dulu kau tidak pernah melakukannya dengan Si Redhead Weaselbee itu ?”, Hermione hanya diam. Mata Theo membulat tak percaya. “Bloody Hell, Granger! Jangan bilang kau masih perawan.”, Hermione membelalakkan matanya mendengar ucapan Theo.
“Merlin! Kecilkan suaramu, Nott!! Atau aku tak segan merapalkan mantra Langlock pada lidah ularmu itu!”, ancam Hermione. Theo seketika menutup mulutnya. “Hal seperti itu harusnya dilakukan dengan orang yang benar-benar kau cintai dan mencintaimu. Sedangkan aku dulu belum yakin benar dengan perasaanku pada Ron. Meskipun kami sudah cukup lama berpacaran.”, lanjut Hermione. Theo hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati ia merasa bahwa gadis di hadapannya ini berbeda dari gadis lainnya yang pernah berhubungan dengan Draco. Pantas bila Draco menyukai gadis ini.
“Percayalah pada Draco, Granger. Dia benar-benar kacau waktu aku bertemu dengannya terakhir kali. Aku mengatakan semua ini bukan karena diminta Draco. Karena aku sendiri tidak menyangka kita akan berjumpa disini.”
Hermione hanya diam membisu mendengar semua perkataan Theo. Separuh hatinya ingin mempercayai Draco. Tapi sebagian masih terasa sakit mengingat kejadian waktu itu. Tepukan Theo di bahunya menyadarkannya dari lamunan.
“Baiklah, Granger. Aku rasa aku harus pergi. Cepat habiskan es krim milikmu itu sebelum meleleh karena terlalu lama melamunkan wajah tampan Draco,”ujar Theo disambut pelototan dan dengusan kesal Hermione.
“Nott!!”, sahut Hermione dan Theo hanya tergelak sambil melambaikan tangan pada gadis itu. Selepas Theo pergi, Hermione pun segera menghabiskan es krimnya.

OoO

                Greengrass Manor
                Gadis cantik bersurai hitam manis itu menatap tak percaya pada pria di hadapannya itu. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi juga. Wajah cantiknya bersimbah air mata. Maskaranya pun telah luntur.
“ Tidak! Tidak, Draco! Kau tak bisa melakukan ini!”, Astoria tak bisa menyembunyikan nada ketakutan dalam suaranya. Ia mencengkeram erat lengan Draco dengan putus asa.  Draco sendiri tampak kalut menghadapi masalah ini.
“Maafkan aku, Astoria. Hubungan kita memang harus berakhir sampai disini.”
“Tidak, Draco! Bahkan kedua orang tua kita sudah mulai menyiapkan pertunangan kita. Kumohon,Draco. Jangan tinggalkan aku! Kau tahu, aku sangat mencintaimu.”, Astoria terisak dan membenamkan wajahnya di dada Draco yang mau tak mau memeluknya karena Draco tak tega melihatnya menangis seperti itu.
“Maaf. Aku tidak bisa, Astoria. Kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku”, jelas Draco. Ia melepaskan pelukan Astoria. Mulai mengacak rambutnya dengan frustasi. Kenapa selalu seperti ini. Kenapa selalu susah untuk lepas dari Astoria. Gadis bungsu keluarga Greengrass itu masih tetap terisak. Air matanya terus meleleh.
“Hanya karena seorang mudblood kau meninggalkanku?”, Draco tersentak mendengar Astoria mengucapkan kata mudblood.
“Cukup, Astoria! Jangan pernah menyebut Hermione dengan sebutan itu lagi!”, desis Draco di sela giginya yang terkatup.
“Bahkan sekarang kau memanggilnya Hermione, Draco?”, mata Astoria membulat tak percaya, “Apakah ia memberimu Amortentia hingga kau seperti ini?”
“Tak setetespun Amortentia yang diberikannya padaku. Aku memang mulai mencintainya.”, jawab Draco, sambil kembali mengacak rambutnya mengerang putus asa. ‘Merlin! Demi hidung pesek Voldemort! Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini! Damn!!’, rutuk Draco dalam hati.
“Kau tak bisa meninggalkanku,Draco! Setelah semua yang kita lakukan selama ini?”, Astoria masih berharap Draco mau berubah pikiran, “Tidakkah kau ingat percintaan panas kita selama ini? Aku selalu bisa memuaskan hasratmu, Draco. Granger belum tentu bisa melakukannya.”, Draco malah merasa risih Astoria mengingatkannya pada kisah panas mereka di ranjang.
Please, Astoria! Jangan kau ungkit lagi hal itu.”, pinta Draco, “Aku benar-benar minta maaf,Astoria. Hubungan kita memang tidak bisa berlanjut. Aku tak mau menyakitimu lebih dalam lagi. Kumohon, berbahagialah dengan pria lain. Kau tak akan bisa bahagia jika terus bersamaku, karena rasa yang kumiliki untukmu dahulu sudah pudar. Maafkan aku...”, tangis Astoria kembali pecah. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Telinganya masih sulit mempercayai kata-kata Draco.
“Aku harus pergi. Sekali lagi maafkan aku...”, Draco berpamitan dan mulai melangkah menuju perapian untuk menggunakan jaringan floo. Baru saja hendak mengambil sejumput bubuk floo di dekat perapian, suara Astoria membuatnya kembali menolehkan kepalanya menatap gadis itu.
“Selangkah lagi kau masuk ke perapian itu, maka aku akan bunuh diri!”, tangan kanan Astoria sudah memegang pisau perak yang tadi terletak di dekat tempat buah yang ada diatas meja, dan mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Draco menatap ngeri dan wajah pucatnya bertambah pucat.


To be continued...

FanFiction :: The Gift - Chapter 3 ::



THE GIFT
*
*
*
*
*
All Characters Belongs To J.K.Rowling
||
||
Pair : Draco Malfoy X Hermione Granger
( 7 tahun setelah kejatuhan Voldemort )
WARNING : EYD berantakan, typos everywhere, alur kecepetan, OOC, geje. My First Fic.


“Aku tak tahu, Granger. Tapi aku hanya ingin bersamamu. Aku masih belum mengerti perasaan yang kurasakan ini. Kita jalani dulu saja hubungan kita seperti ini.”


Chapter 3
So many times i was alone I couldn’t sleep
You left me drowning in the tears of memory
And ever since you’ve gone, I found it hard to breathe
‘Cause there was so much that your heart just couldn’t see
A thousand wasted dreams rolling of my eyes
But time’s been healing me and I say goodbye

‘Cause i can breathe again, dream again
I’ll be on the road again
Like it used to be the other day
Now i feel free again, so innocent
‘Cause someone makes me whole again for sure
I’ll find another you

~ Cascada – Another You ~

                “Hei!”, sapa Draco ketika melihat Hermione keluar dari kantor Daily Prophet. Malam itu ia mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Di lengannya tersampir mantel bepergiannya. Senyum Hermione langsung terkembang begitu melihat pangeran Slytherin tersebut.
“Hei!”, sapa balik Hermione. Ia berjalan mendekati Draco.
“Kau sudah lapar?”, tanya Draco lembut. Senyumnya begitu menawan. Hermione tak mengira wajah pucat datar Draco bisa menampilkan senyum semanis itu.
“Iya. Kau mau mengajakku makan dimana?”
“Aku ingin mengajakmu makan malam di apartemenku.”, jawab Draco. Hermione mendongak menatap wajah Draco.
“Tumben sekali?”
“Sekali-sekali ganti suasana. Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu.”, kembali Draco tersenyum. Membuat Hermione makin bersemu merah melihat ketampanannya. “Ayo!”, uluran tangan Draco terarah kepada Hermione dan ia segera menyambutnya. Mereka pun berapparate menuju apartemen Draco.
                Sesampainya disana, Draco segera membukakan pintu untuk Hermione. Setelah masuk betapa terpananya Hermione saat melihat meja makan yang sudah lengkap dengan hidangannya beserta lilin menyala diatas meja. Suasananya terasa begitu romantis. Hermione memandang Draco yang memegang bahunya. Draco berinisiatif membantu melepaskan mantel Hermione. Kemudian ia menggandeng Hermione menuju meja makan dan mempersilahkan duduk. Mereka kini duduk berhadapan.
“Malfoy, ini sungguh manis.”, ujar Hermione. Draco tersenyum dan menggenggam jemari Hermione.
“Aku melakukannya untukmu, Granger.”, jawaban Draco membuat perasaan Hermione membumbung tinggi. Pria di hadapannya ini benar-benar terlihat berbeda dari yang dikenalnya pada waktu di Hogwarts dulu. Gadis itu hanya bisa tersipu. “Mari kita makan dahulu, aku yakin kau pasti lelah seharian bekerja. Ini saatnya kau mengisi perutmu.”, ajak Draco. Hermione mengangguk. Mereka makan dalam diam tapi sesekali saling melempar senyum. Mata mereka memancarkan kebahagiaan. Selesai makan, Draco mengajak Hermione  duduk berdua di balkon beranda apartemennya sambil melihat bintang-bintang di langit. Draco melingkarkan lengan kanannya di bahu Hermione dan gadis itu pun menyandarkan kepalanya di bahu Draco. Tangan kiri Draco menggenggam tangan Hermione.
“Banyak bintang bertaburan malam ini.”, ujar Hermione mengawali pembicaraan.
“Hmm...”, jawab Draco.
“Kenapa kau diam saja?”,tanya Hermione.
“Tak apa, aku hanya menikmati suasana seperti ini. Rasanya begitu damai dan menyenangkan.”, jawab Draco sambil mengecup puncak kepala Hermione, “Hei, apakah sahabatmu Si Kepala Pitak itu tahu bahwa kita sering jalan bersama?”, tanya Draco tiba-tiba.
“Namanya Harry Potter, Malfoy!”, Hermione merengut mendengar Draco mengejek sahabatnya. Draco tertawa.
“Baiklah, apakah Potter sudah mengetahui bahwa kita sering jalan bersama?”
“Aku belum menceritakan pada siapapun tentang kita,Malfoy. Kenapa?”
“Tak apa, aku hanya bertanya.”, mereka kembali terdiam. Draco mengusap-usap rambut Hermione dan sejurus kemudian tiba-tiba saja ia mencium bibir manis Hermione. Gadis itu sedikit kaget akan ciuman Draco yang tiba-tiba itu. Tapi ia dapat segera menyesuaikan. Draco seperti ketagihan akan bibir manis Hermione. Ciuman yang mulanya biasa saja mulai sarat akan nafsu. Draco meminta lebih. Ia mulai memainkan lidahnya di dalam mulut Hermione. Lidah mereka saling membelit. Menimbulkan desahan dari bibir mungil Hermione. Draco menghisap lidah Hermione, membuat gadis itu semakin mendesah. Lengan Draco yang tadinya melingkari bahu Hermione berpindah ke leher gadis itu untuk menekan dan membuat ciumannya semakin dalam. Mereka berhenti sejenak untuk mengambil napas. Draco tersenyum. Dan kemudian dia mengangkat tubuh mungil Hermione ke pangkuannya membuat gadis itu sedikit terkejut. Setelah Hermione duduk di pangkuannya, Draco langsung kembali mencium Hermione. Tangan kiri Draco bergerak menuju leher Hermione menggelitik belakang telinga gadis itu dan tak ayal lagi membuat Hermione kembali mendesah nikmat, rupanya disanalah titik rangsang gadis itu.Hermione mengalungkan lengannya di leher Draco. Ia sedikit menunduk untuk berciuman dengan Draco. Tangan kanan Draco yang awalnya berada di pinggang Hermione mulai beranjak naik. Tangan Draco membelai leher Hermione dan mulai turun perlahan ke dada gadis itu. Ia membelai dada Hermione perlahan dan sesekali meremasnya. Hermione mendesah melepas ciumannya.
“Mmhh...Malfoy...sshh...”, desah Hermione. Draco turun menciumi leher Hermione. Membuat Hermione sedikit menggelinjang di pangkuannya. Draco terus saja mencium leher gadis itu. Aroma parfum Hermione semakin membuatnya menggila. Sesekali ia menghisap telinga Hermione. Jemari Draco pun mulai membuka kancing atas kemeja Hermione. Tangannya menyusup ke dalam. Hermone semakin mengencangkan pelukannya pada Draco. Desahannya semakin menambah nafsu Draco. Draco mengelus perlahan belahan dada Hermione. Ciuman dari leher pun mulai turun. Draco menjilat belahan dada Hermione. Membuat Hermione mendongakkan kepalanya menahan nikmat akan perlakuan Draco. Ia dapat merasakan kejantanan Draco mengeras di sela-sela pahanya. Ciuman Draco masih belum berhenti. 3 kancing kemeja Hermione sudah terbuka memberikan akses mudah bagi lidah Draco untuk mengeksplorasi.  Draco terus menciumi dada Hermione sambil meremas-remas dada gadis itu. Hermione semakin menggeliat tak karuan. Tanpa sadar Hermione menggerakkan pinggulnya menggesek kejantanan Draco di sela-sela pahanya. Draco terdengar sedikit menggeram.
“Uuhh, Granger..sshh...”, desah Draco. Ia ingin lebih. Tubuh Hermione begitu memabukkan baginya. Ia begitu ingin memiliki gadis itu. Tingkah Hermione yang secara spontan terus menggeliat & menggesek di pangkuannya hampir membuat Draco hilang kendali. Ditambah Hermione mulai berani menjilat dan menghisap telinganya. Draco semakin bersemangat membenamkan wajahnya di dada Hermione. Ia mulai berani menjilat dan menghisap dada gadis itu, hingga akhirnya suara ringtone dari ponsel Draco membuyarkan kegiatan mereka. Mereka saling memandang kemudian tersenyum, walaupun napas mereka masih terengah-engah. Hermione turun dari pangkuan Draco mengancingkan kembali kemejanya. Draco beranjak mengambil ponselnya. Nama Theodore Nott muncul di layar ponselnya. Melirik Hermione sekilas, kemudian ia mengangkat panggilan ponselnya.
“Ada apa,Theo?”, ujar Draco. Ia berjalan mendekati Hermione kembali. Lengannya terbuka mengisyaratkan Hermione untuk mendekat dan gadis itu pun menghampirinya.
“Hei,mate! Kau sibuk malam ini?”, tanya Theo dari seberang telepon.
“Tidak juga. Kenapa?”
“Blaise mengajak kita minum malam ini. Kutunggu kau sekarang di rumah Blaise.”, belum sempat Draco menjawab, Theo sudah memutus teleponnya. Draco mendecih kesal. Ia memasukkan ponselnya ke saku dan berkata pada Hermione.
“Theo barusan menelepon dan mengatakan Blaise mengajak kami minum malam ini. Aku akan mengantarmu setelah ini.”, kata Draco sambil mengecup dahi Hermione.
“Baiklah.”, jawab Hermione sambil tersenyum. Draco mengambilkan mantel Hermione dan memakaikannya. Dengan menggenggam tangan Hermione, mereka berdisapparate tepat di luar pintu apartemen Draco.
                Sesampainya di depan pintu apartemen Hermione, Draco segera berpamitan. Tapi sebelum pergi, Draco menangkup pipi Hermione dengan kedua tangannya.
“Granger, malam ini hampir membuatku hilang kendali. Kau begitu menggairahkan.”, mata Draco menyala masih penuh nafsu. Hermione hanya terdiam dan tersenyum. Tapi ia juga tak bisa menyembunyikan fakta bahwa Draco juga hampir membuatnya lepas kendali. Ciuman Draco benar-benar memabukkan dan terasa begitu nikmat. “Aku harus pergi sekarang. Blaise dan Theo sudah menungguku.”
“Oke, Malfoy. Jujur saja, aku juga hampir kehilangan kendali malam ini. Kau benar-benar membuatku merasa begitu bergairah.”, ujar Hermione sambil tersipu malu. Draco mengumpat dalam hati. Perkataan Hermione membuatnya turn on kembali. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Lain kali aku akan mendapatkanmu,Granger”, bisik Draco. Ia mencium Hermione sekilas dan mengucapkan sampai jumpa pada Hermione. Hermione menyaksikan Draco hingga menghilang dari pandangannya. Setelah itu ia pun masuk ke apartemennya.

OoO

“Hei, mate!”, sapa Blaise ketika melihat Draco muncul di rumahnya. Theo tampak sedang menuangkan fire whiskey ke dalam gelas. “Sumringah sekali kau malam ini? Ada apa gerangan?”
                “Nothing.”, jawab Draco datar sambil mengambil gelas yang disodorkan Theo. Ia meneguk sedikit minumannya.
                “Tapi wajahmu tampak fresh,mate! Kau habis bercinta,ya?”, tanya Theo penuh selidik. Draco mengeplak kepala Theo, “Aauuw, sakit, bodoh!”.
                “Mesum sekali pikiranmu itu!”, ujar Draco. Theo dan Blaise terkekeh. Draco mengangkat satu alisnya melihat kedua sahabatnya itu. Ia meneguk minumannya kembali.
                “Tapi Theo benar, mate! Kau semacam terlihat berbeda malam ini. Pasti ada sesuatu yang membuatmu senang malam ini.”, timpal Blaise.
                “Ah, berisik kalian ini! Mau kurapalkan silencio untuk kalian berdua, ha?”
                “Ups! Sudahlah, jangan terlalu dianggap serius. Kami kan hanya bercanda,hahaha”, Theo malah terbahak. Ia mengajak bersulang Blaise dan Draco. Suara gelas berdenting pun menggema di ruangan itu.

OoO

                Seolah sudah menjadi kebiasaan rutin, malam ini pun Draco sudah siap menjemput Hermione pulang kerja. Senyum sumringah Hermione tampak begitu melihat Draco. Bergerak mendekati Draco, Hermione pun segera mengaitkan lengannya pada Draco dan mereka pun berdisapparate. Mereka muncul di gang kecil di dekat Ziferblat, kafe favorit Hermione dan segera menuju kesana.  Sesaat sebelum tangan Draco menyentuh pintu Ziferblat, sebuah suara mengagetkannya.
“Draco????”, dan Draco pun menoleh ke arah asal suara tersebut. Dan betapa terkejutnya Draco saat melihat siapa yang menyapanya.
“Astoria???”, Astoria pun terlihat sama terkejutnya dengan Draco. Matanya bergantian memandang Draco lalu Hermione. Draco. Hermione. Dan kemudian matanya terpaku pada lengan Hermione yang berada di lengan Draco.
“Apa yang kau lakukan disini,Draco? Dan kenapa kau bersama mud- Granger?”, tanya Astoria dengan mata menyipit. Wajahnya terlihat menahan emosi dan sedikit bingung. Draco terlihat sedikit gugup. Hermione juga tampak bingung.
“Mm...aku..ee...mm...”, Draco gugup untuk menjawab.
“Ada apa sebenarnya ini?”, Hermione membuka suaranya. Wajahnya mengisyaratkan meminta penjelasan dari Draco. Draco tambah terlihat bingung. Astoria menyilangkan tangan di depan dadanya menunggu jawaban Draco. Karena Draco tidak segera memberi jawaban, akhirnya Astoria lah yang menjawab.
“Dengar, Granger. Pria yang sekarang sedang kau gandeng itu adalah kekasihku.”, ucap Astoria, terdengar ada getar dalam suaranya. Ia berusaha untuk tegas, tapi matanya memancarkan kekalutan. Hermione terkejut, refleks melepaskan pegangannya pada lengan Draco.
“Malfoy, jelaskan apa maksudnya?!”, tanya Hermione pada Draco. Draco menatap horor. Setelah beberapa saat ia tampak bingung mengatur kata-kata, akhirnya Draco pun berbicara.
“Granger, aku mohon jangan marah padaku. Apa yang dikatakan Astoria benar. Sebenarnya dia kekasihku, tapi...”, belum selesai Draco bicara Hermione mundur perlahan. Matanya mulai tampak berkaca-kaca, “Granger... Aku mohon! Jangan marah padaku.”, terselip nada khawatir dari perkataan Draco. Hermione menggelengkan kepala. Air mata mulai jatuh di pipinya. Secepat mungkin ia berbalik meninggalkan Draco dan Astoria di depan Ziferblat. Di ujung jalan Hermione berbelok dan berdisapparate. Draco yang tampak berusaha menyusul Hermione dicegah oleh Astoria.
“Draco!! Mau kemana kau?!”, Astoria menahan lengan Draco. Draco tampak marah dan berusaha melepaskan cengkeraman Astoria.
“LEPASKAN AKU!!!”, bentak Draco. Astoria terkejut dibentak seperti itu oleh Draco. Ia tak pernah dibentak sebelumnya.
“Tapi, Draco, aku kekasihmu!! Kau tak boleh pergi menemui mudblood sialan itu!!”, Astoria setengah berteriak. Beberapa orang yang lewat mulai menoleh ke arah mereka. Draco tak peduli.
“JAGA UCAPANMU!!!”, bentak Draco, lagi, “LEPASKAN . AKU . ASTORIA!!!”, Draco menekankan setiap kata dengan gigi terkatup. Ia benar-benar merasa jengkel. Astoria tetap tidak mau melepaskan pegangannya pada lengan Draco. Ia mulai tampak ingin menangis. Draco menghempaskan lengannya dengan kasar membuat Astoria tersentak. Segera ia berlari ke ujung jalan dimana Hermione berbelok tadi dan berapparate menuju apartemen Hermione.
“DRACO!!!!”, Astoria berteriak memanggil nama Draco tapi yang dipanggilnya tak menoleh sama sekali.

OoO

Draco tiba di apartemen Hermione. Ia mengetuk dengan cepat dan keras pintu apartemen tersebut. Ah, tidak. Mungkin lebih tepatnya agak sedikit menggedor.
“Granger!! Buka pintunya, Granger!! Aku mohon!!”, seru Draco dari luar pintu. Hermione yang sedang menangis di dalam mendengar suara Draco mendekat menuju pintu tapi ia tetap diam saja dan menangis. Draco terus saja berseru nyaring meminta ia membuka pintu.
“Pergi dari sini,Malfoy!!”, teriak Hermione dari dalam sambil terisak.
“Aku mohon, Granger! Buka pintunya! Aku akan menjelaskan semuanya, aku mohon!”, suara Draco terdengar putus asa.
“Cukup,Malfoy! CUKUP!!! Kau sudah membuatku mengerti. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi!”, sahut Hermione. Tangisnya belum reda. Pipinya basah karena air matanya.
“Aku mohon,Granger! Biarkan aku masuk! Atau aku akan mem-bombarda pintu ini!”, Hermione tersentak. Tentunya ia tak ingin ada keributan jika Draco benar-benar memantrai pintu apartemennya. Maka dengan berat hati ia pun membuka pintu untuk Draco. Penampilan Draco tampak begitu acak-acakan. Wajahnya tampak putus asa. Begitu Hermione membuka pintu, langsung saja Draco menerobos masuk dan menarik Hermione ke dalam ciumannya. Tentu saja Hermione meronta akan perlakuan Draco. Tapi Draco tak peduli. Yang ia inginkan hanya Hermione. Ia mencium Hermione dengan kuat dan dalam kemudian melepasnya. Tangan Draco tak melepaskan pipi Hermione. Ibu jari Draco mengusap air mata Hermione yang turun di sudut matanya. Draco mengecup dahi Hermione.
“Granger, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku...”,Draco berusaha menjelaskan kejadian tadi tapi Hermione menyelanya.
“Tapi apa yang aku lihat & dengar dari Greengrass...”
“Sssttt....”, telunjuk Draco mengisyaratkan Hermione untuk diam, “Dengarkan aku dulu,Hermione.”, Hermione langsung terdiam mendengar Draco memanggil nama depannya. “Aku tak bermaksud menyakitimu. Astoria memang kekasihku. Tapi aku sudah lama ingin berpisah darinya. Aku melihat hubunganku dengannya tak akan berhasil. Tapi setiap aku ingin berpisah darinya ia selalu tak mau. Hingga akhirnya aku bertemu denganmu di Ziferblat tempo hari aku merasakan sesuatu yang berbeda.”, jelas Draco.
“Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan Greengrass?”, tanya Hermione pelan. Ia tak mengira disaat ia mulai menaruh perasaan pada Draco ternyata Draco sudah memiliki kekasih.
“Hampir setahun terakhir ini.”, jawab Draco, sambil menghela napas. Hermione menutup mulutnya dengan tangan. Dua bulir air mata jatuh dari sudut kedua matanya. Draco refleks segera mengusapnya.
“Dan kau membohongiku selama ini??”, tanya Hermione tak percaya.
“Bukan maksudku untuk membohongimu, Hermione. Aku hanya bermaksud mencari waktu yang tepat untuk lepas dari Astoria. Tapi ternyata semua terjadi seperti ini. Aku – aku mulai men – aku mulai mencintaimu.”, Draco mengucapkannya dengan hati berdebar. Hermione menggelengkan kepalanya.
“Aku tak percaya padamu, Malfoy!”, kata Hermione sambil menyipitkan mata. Draco mengacak rambutnya frustasi.
“Aku bersungguh-sungguh, Hermione! Aku mulai mencintaimu. Perasaan ini mulai tumbuh dalam hatiku.” Hermione termenung mendengar perkataan Draco. Dalam hati ia juga tak bisa memungkiri bahwa ia juga mulai mencintai Draco. Tapi teringat akan Astoria membuat hatinya sakit kembali. Ia menutup mata sejenak. Dan ketika membuka mata, ia mengajukan satu syarat untuk Draco.
“Jika memang kau mencintaiku, tinggalkan Astoria....”
Draco yang tadinya tertunduk lemah, mendongak menatap Hermione.....



To be continued....

FanFiction :: The Gift - Chapter 2 ::



THE GIFT
*
*
*
*
*
All Characters Belongs To J.K.Rowling
||
||
Pair : Draco Malfoy X Hermione Granger
( 7 tahun setelah kejatuhan Voldemort )
WARNING : EYD berantakan, typos everywhere, alur kecepetan, OOC, geje. My First Fic.

Hermione yang merasa jijik melihat kelakuan mereka segera mengambil kembali kopernya yang tadi terjatuh, melangkah keluar ruangan Ron dan berdisapparate tepat diluar pintu meninggalkan kedua manusia yang sudah tega menghancurkan hatinya.

Chapter 2
                Tepat disaat Hermione melangkah keluar ruangan Ron dan berdisapparate, Harry Potter yang kebetulan juga masih di kantor melihatnya. Harry berusaha mengejar Hermione tapi gadis itu telah lebih dahulu menghilang. Harry yang merasa heran saat itu juga menoleh ke dalam ruangan Ron dan kaget melihat keadaan Ron dan Lavender yang sedang berusaha memakai kembali pakaian mereka.
“RON!!!!! Apa yang kau lakukan??!!”, teriak Harry.
“Harry! Ini bukan seperti yang kau lihat.”, Ron tampak gugup. Sedangkan Lavender berusaha mengancingkan kemejanya, juga nampak gugup.
“Bukan seperti yang kulihat?? Lalu apa yang kalian lakukan, ha? Aku melihat Hermione baru saja berdisapparate di luar ruanganmu. Pasti dia telah melihat apa yang kalian lakukan.”, Harry membetulkan letak kacamatanya. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Ia merasa kecewa melihat kelakuan Ron.
“Harry, aku bisa menjelaskannya.”, sekarang Ron sudah berpakaian lengkap, begitu juga dengan Lavender. Gadis itu hanya diam menundukan kepalanya disamping Ron. Harry menggelengkan kepalanya.
“Bukan kepadaku. Tapi pada Hermione,Ron. Jujur, aku kecewa padamu, Ron! Dan juga padamu, Lavender! Kalian benar-benar.... ah sudahlah!!”, Harry frustasi mengacak-acak rambutnya dan pergi meninggalkan Ron dan Lavender.
OoO
                Hermione tiba di depan pintu apartemennya. Segera saja ia masuk dan mengunci pintunya. Baik secara muggle juga sihir. Dia benar-benar hancur. Tangisnya meledak. Ia menumpahkan semua air matanya hingga terasa sesak di dada. Ia tinggal sendirian di apartemennya, sehingga ia tak ragu-ragu untuk menangis. Ia tak menyangka bahwa Ron akan mengkhianatinya. Dan yang terburuk ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya itu bercinta dengan teman sekolahnya dulu. Apalagi, gadis itu adalah mantan kekasih Ron saat masih di Hogwarts. Hermione terus saja menangis hingga akhirnya ia pun tertidur.
OoO
I never thought that i’d survive you
But i will be free
And there’ll be so many nights i gotta get through
But now i see
You’ll never be the end of me (no)
Cause when my world fell apart
And i didin’t know where to start
I heard the sound of broken heart
( I still feel the pain )
I heard the sound of broken heart
( It still beats the same )
~ Westlife – Sound of Broken Heart ~

                Hermione terbangun pada pukul 7 pagi dengan mata sembab sebesar bola pingpong. Hatinya masih pedih. Ia benar-benar terluka. Hubungan yang ia jalin selama ini harus kandas dengan cara yang sangat menyakitkan. “Lebih baik aku di crucio saja daripada harus menyaksikan kejadian semalam”, batin Hermione sedih. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil secarik perkamen dan menulis kepada atasannya bahwa dia tidak bisa masuk kerja hari ini dikarenakan tidak enak badan. Laporan tentang pagelaran Wizz Fashion Week akan segera dikirimkan melalui e-mail. Ya, Daily Prophet pun juga mulai terbuka dengan penggunaan teknologi muggle. Selesai menggulung perkamen, Hermione mengikatkannya pada kaki Harold, burung hantu kepunyaannya. Ia merasa tidak sanggup bekerja hari ini karena kejadian semalam. Setelah Harold terbang menuju kantor Daily Prophet, Hermione bergegas menuju kamar mandi. Tepat sebelum tangannya menyentuh gagang kamar mandi, ia mendengar pintu apartemennya diketuk. Merasa heran siapa yang bertamu sepagi ini, Hermione mengurungkan niatnya masuk kamar mandi. Ia berjalan membukakan pintu untuk tamunya. Dan setelah pintu dibuka....
“Mau apa kau kesini?!!”, hardik Hermione dengan ketus.
“Mione, aku ingin menjelaskan semuanya. Bolehkah aku masuk?”, Ron Weasley berdiri tepat dihadapan Hermione.
“Apalagi yang perlu dijelaskan? Yang kulihat semalam sudah menjelaskan semuanya!”.
“Ayolah,Mione! Biarkan aku masuk. Aku tidak akan menyakitimu.”
“Kau. Sudah. Menyakitiku.”, Hermione menekankan setiap kata yang diucapkannya dengan tegas. Padahal dalam hati ia berusaha mati-matian untuk menahan emosinya agar jangan sampai menangis di depan kekasih yang mengkhianatinya.
“Aku mengerti,Mione. Aku minta maaf. Tapi aku ingin menjelaskan tentang semuanya. Tolong biarkan aku masuk.”, pinta Ron. Hermione akhirnya memberi jalan pada Ron untuk masuk. Mereka pun duduk di sofa ruang tamu dengan berhadapan. Padahal sebelumnya selalu berdampingan jika Ron berada disana.
“Cepat jelaskan! Aku tak punya banyak waktu untukmu!”, Hermione menyilangkan tangannya sembari cemberut.
“Baiklah. Aku minta maaf,Mione. Aku tahu, aku memang salah sudah mengkhianatimu. Tapi sebenarnya dari dulu aku memang ingin jujur padamu. Aku masih mencintai Lavender sampai saat ini. Aku pikir dulu ketika aku memutuskan untuk menjalin hubungan denganmu aku bisa melupakan Lavender. Tapi ternyata tidak.”, Ron menghela napas sejenak, “Maafkan aku sudah tidak jujur selama ini. Aku berusaha mencintaimu selama ini. Tapi tetap tidak bisa. Aku sebenarnya takut menyakitimu. Kau terlalu baik. Maka dari itu aku tetap bersamamu selama 7 tahun ini. Tapi perasaanku tak bisa dibohongi, Mione. Lavender datang kembali dalam hidupku. Dan jujur, aku masih memiliki perasaan untuknya. Maafkan aku, Mione. Maaf....”, Ron mengakhiri penjelasannya, menatap wajah Hermione lekat-lekat. Kemudian menundukkan kepala. Hermione yang tercengang akan penjelasan Ron masih terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menutup matanya. Ketika ia membuka mata, ia pun berkata....
“Terima kasih atas penjelasanmu. Terima kasih untuk 7 tahun kebersamaan kita. Dan terima kasih untuk semua kenangan kita. Sekarang silahkan kau pergi dari tempat ini. Kurasa hubungan kita sudah berakhir. It’s over.”, ujar Hermione sambil berjalan menuju pintu dan membukakannya agar Ron segera pergi. Ron yang memang merasa bersalah bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Tapi ia berhenti sejenak di depan gadis brunette itu.
“Kita masih tetap menjadi sahabat kan,Mione?”, tanya Ron dengan tampang memelas.
“Akan kupikirkan nanti.”, jawab Hermione tanpa mau memandang Ron. Kakak Ginny Weasley itu hanya bisa menghela napas kembali.
“Sampai jumpa,Mione. Sekali lagi, maafkan aku.”, dan Ron pun berlalu dari hadapan gadis bersurai cokelat itu. Hermione tak menjawab dan langsung menutup pintu. Tangisnya kembali pecah. Ia jatuh terduduk dan bersandar pada pintu. Menangisi kehidupan cintanya yang hancur. 7 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melupakan orang yang selama ini bersamanya. Walaupun ia sendiri sadar bahwa terkadang ia ragu dengan perasaannya terhadap Ron, tapi 7 tahun yang dilalui bersama pria berambut merah itu memberikan banyak kenangan baginya. Dan ia benar-benar tak menyangka bahwa sampai saat ini Ron masih mencintai Lavender, mantan pacar saat di Hogwarts. Ia tak percaya selama ini ia hanya dijadikan sebagai pelarian. Semua ini sungguh terasa menyakitkan baginya. Hermione terus saja menangis hingga suara ringtone ponselnya berdering. Ia bangkit, mengusap air matanya dan berjalan mengambil ponselnya di dalam kamar yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Nama Harry Potter tertera di layar ponselnya.
“Halo,Harry.”, suara Hermione terdengar serak karena kebanyakan menangis.
“Mione? Kau baik-baik saja?”, nada khawatir terdengar dari suara Harry.
“Aku bohong jika aku mengatakan baik-baik saja,Harry.”, Hermione kembali sesenggukan. Ia mulai menangis lagi.
“Mione, kenapa kau menangis?”, tanya Harry panik.
“Bisakah kau kemari bersama Ginny, Harry?”, tanya Hermione balik sambil tetap sesenggukan.
Baiklah,aku kesana sekarang bersama Ginny. Tenanglah...”
“Okay, Harry. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa,Mione.”, sambungan telepon pun terputus. Masih dengan terus bercucuran air mata, Hermione melangkah ke kamar mandi untuk  melanjutkan rencana mandinya yang tadi sempat tertunda karena kehadiran Ron.
OoO
                20 menit kemudian, Hermione telah selesai mandi dan berganti pakaian. Tak lama kemudian terdengar pintu apartemennya kembali diketuk. Harry dan Ginny baru saja berapparate di depan pintu apartemen Hermione. Gadis itu berjalan untuk membukakan pintu. Segera saja setelah pintu dibuka, Harry dan Ginny masuk. Hermione menutup kembali pintunya. Setelah mempersilahkan sepasang kekasih itu duduk. Hermione menceritakan semua yang terjadi dan kembali menangis. Tampaknya ia benar-benar rapuh saat ini. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menangis. Ginny berpindah tempat duduk disamping Hermione dan merangkul pundak gadis itu untuk menenangkannya. Harry yang sedari tadi terdiam mendengarkan cerita Hermione akhirnya angkat bicara.
“Semalam aku melihatmu saat kau keluar dari ruangan Ron. Aku ingin mengejarmu tapi tepat saat itu kau berdisapparate. Dan ketika aku melihat ke dalam ruangan Ron, aku juga sama terkejutnya denganmu. Dan aku juga kecewa pada Ron.”, Harry mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan.
“Aku minta maaf,Mione atas kelakuan kakakku yang menjijikkan.”, Ginny tampak merasa malu dan bersalah atas kelakuan Ron. Hermione yang masih sesenggukan tidak menjawab. “Jujur, aku juga marah pada Ron. Dan aku juga sama sekali tak mengira ia masih menyimpan rasa untu Lavender.”, Ginny tampak berusaha memendam emosi.
“Sudahlah,Mione. Jangan menangis lagi. Aku tahu 7 tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi kau harus bangkit lagi. Jangan biarkan keadaan membuatmu terpuruk. Aku percaya kau sanggup melewati semua ini.”, Harry berusaha membangkitkan semangat sahabatnya itu.
“Aku tahu,Harry. Tapi semua terasa menyakitkan. Aku begitu kecewa. Tak kusangka Ron tega melakukan itu padaku.”, Hermione mengusap pipinya yang basah karena tangisnya. Ginny yang duduk disampingnya beranjak untuk mengambilkan tisu dan memberikannya pada Hermione.
“Aku yakin, kau akan mendapatkan yang lebih baik dari Ron, Mione.”, hibur Ginny.
“Aku tak tahu,Gin. Aku belum terpikir untuk mencari pengganti Ron. Semua yang terjadi masih sulit kupercaya.”
“Percayalah, Mione. Time will healing you. Cry. Forgive him. Learn. Move on. Let your tears water the seeds of your future happiness.”, Harry memberikan nasihatnya. “Sooner or later we’ve all got to let go of our past.”
Thanks, Harry, Ginny. Aku sungguh berterima kasih memiliki kalian disaat aku rapuh seperti ini.”, Hermione memaksakan senyumnya dengan lemah. Ginny mengusap-usap punggung Hermione sembari tersenyum.
“Walaupun kakakku sudah tak lagi bersamamu, aku akan tetap selalu ada untukmu,Mione.”, ujar Ginny. Hermione kembali tersenyum mendengarnya. Dan ia memeluk Ginny. Air mata meleleh keluar dari manik cokelat madunya.
“Terima kasih,Gin.”, hanya itu yang bisa diucapkan Hermione. Harry yang menyaksikan dua gadis yang disayanginya berpelukan itu ikut tersenyum. Walaupun sebenarnya ia juga marah terhadap Ron, tapi bagaimanapun juga Ron adalah sahabatnya, begitu juga Hermione. Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya sebagai pihak netral dan berusaha mengembalikan semangat Hermione. Sedangkan Ron bisa ia ajak ngobrol lain waktu.
“Baiklah, Mione. Aku rasa, kami harus pergi. Siang ini aku ada pertemuan penting di kantor. Tadi aku sempatkan kemari terlebih dahulu untuk menengokmu.”, Harry berpamitan.
“Okay, Harry. Terima kasih sudah mau datang dan menghiburku.”, jawab Hermione. Harry dan Ginny tersenyum dan bangkit menuju pintu.
“Sampai jumpa,Mione. Be strong.”, Ginny memeluk Hermione sekali lagi. Hermione hanya menganggukkan kepalanya.
“Sampai jumpa lagi,Mione.”, ujar Harry sambil tersenyum.
“Iya, Harry, Ginny.” Hermione tersenyum lemah. Dan saat itu juga sepasang sejoli itu berdisapparate.


OoO
When will the world start spinnin’
And what happenned to my happy ending
Learning what it takes, to turn this page
Didn’t know how to walk away
Walk away
Now I’ve made it this far
And the pain isn’t over
But the sun keeps on risin’
And I keep getting stronger
~ Westlife – Sound of Broken Heart ~

                Seminggu sejak berpisah dari Ron membawa perbedaan dalam kehidupan Hermione. Jika biasanya sepulang kerja ia selalu menghabiskan sisa waktunya bersama Ron, sekarang tidak lagi. Sekarang semua dilaluinya sendirian. Seperti malam ini, selepas kerja Hermione berjalan-jalan sendiri di 338 Old Street. Ia bermaksud mengunjungi kafe favoritnya, Ziferblat. Kafe ini cukup unik, karena ketika pengunjung memasuki kafe, mereka akan diberikan sebuah jam alarm dan dicatat waktu masuknya. Kemudian jam alarm ini akan dikembalikan saat pengunjung meninggalkan kafe. Berapa jumlah tagihan tergantung jumlah waktu yang dihabiskan di dalam kafe. Hermione sangat senang menghabiskan waktunya di Ziferblat. Meskipun setiap menit dikenakan tarif 3 pound sterling, tapi untuk kopi dan cemilannya disediakan gratis. Dan juga tidak ada karyawan yang melayani, semuanya self-service, termasuk mencuci piring sendiri. Tapi tetap saja kafe ini menjadi salah satu pilihan favorit warga London.
                Hermione sudah mendapatkan jam alarm saat memasuki Ziferblat tadi. Ia menuju mesin pembuat kopi untuk meracik cappucino buatannya sendiri. Selesai membuat cappucino-nya, ia beranjak mengambil cemilan. Fish and Chips menjadi pilihannya. Ia berjalan untuk mengambil tempat di dekat jendela. Ia meneguk sedikit cappucino-nya saat sebuah suara menyapanya.
“Granger??”, Hermione mendongak.
“Malfoy?? Apa yang kau lakukan disini?”, tanya Hermione sedikit terkejut bertemu seorang Draco Malfoy di kafe muggle seperti ini.
“Untuk bersantai jelas. Hal seperti itu tidak perlu kau tanyakan, Nona-Tahu-Segala.”, sindir Draco sambil mengambil tempat duduk di depan Hermione. Hermione membulatkan matanya.
“Hei, kenapa kau duduk disini?”.
“Memangnya tidak boleh? Tidak ada larangan tertulis untuk duduk disini.”, Hermione mengerucutkan bibirnya. Senyum sinis nampak di wajah pucat Draco. Di tangannya terdapat secangkir black coffe.
“Mengejutkan sekali,Malfoy. Bisa bertemu denganmu di tempat muggle seperti ini.”, ujar Hermione.
“Hei, sesekali aku juga mengunjungi tempat muggle, Granger. Terlalu sering ke kafe atau bar penyihir bisa membuatku bosan.”, jelas Draco, “Dimana Redhead? Aku tidak melihatnya bersamamu?”. Hermione agak sedikit tersentak mendengar pertanyaan Draco.
“Kami sudah putus.”, jawab Hermione singkat sambil mengunyah cemilannya. Draco tampak sedikit heran.
“Putus?? Kenapa??”
“Dia berselingkuh. Ah,tidak. Tepatnya, dia kembali ke pelukan Lavender Brown.”
“Haa...sudah pernah kubilang,kan. Harusnya kau yang lebih dulu meninggalkannya sebelum kau yang dicampakkannya.”, Draco menyeruput black coffe-nya. Hermione tambah cemberut.
“Hah,kau ini! Bukannya menghibur malah membuatku semakin kesal saja.”
“Wow, kau berharap aku menghiburmu ya?! Hmm, jangan-jangan kau mulai naksir padaku, eh?”
“Sembarangan saja kau bicara. Mana mungkin aku naksir musang?!”, kali ini ganti Draco yang tampak sedikit kesal. Setiap ia diolok-olok musang oleh gadis di hadapannya ini, ia selalu teringat akan kejadian memalukan saat kelas 4 dulu. Dimana ia ditransfigurasi menjadi musang oleh Alastor Moody gadungan.
“Dasar berang-berang!”, ejek Draco balik. Hermione melotot. Draco tertawa melihat ekspresi Hermione. Senang sekali rasanya memancing emosi gadis itu.
“Hei, Malfoy! Kenalkan aku pada teman kantormu yang tampan.”, Draco yang saat itu sedang meneguk kopinya agak sedikit tersedak mendengar permintaan tiba-tiba dari Hermione. Ia tak habis pikir. Baru saja gadis itu mengatakan bahwa baru saja putus dari pemuda Weasley tersebut, sekarang minta dikenalkan dengan teman kantornya yang tampan.
“Teman kantorku?”, tanya ulang Draco.
“Iya. Siapa tahu dengan begitu aku bisa cepat lupa dengan Ron.”, jawab Hermione.
“Siapa? Tak ada yang tampan di kantorku selain aku.”, sombong Draco. Hermione membuat ekspresi ingin muntah. Draco hanya mengernyit.
“Narsis sekali kau. Masa tak ada yang tampan di kantormu?”
“Ada. Yaitu aku, Draco Lucius Malfoy.”
“Selain kau?”
“Sudah kubilang tak ada,Berang-berang!”, Draco mendengus kesal, “Dulu Si McLaggen itu jelas-jelas naksir kau. Eh, malah kau yang menghindar. Sekarang dia sudah menikah dengan salah satu dari Patil bersaudari. Entah Padma atau Parvati, aku susah membedakannya.”
“Aku tak pernah menyukai McLaggen. Makanya kutolak dia.”, jelas Hermione. Draco hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Nanti juga kau akan menemukan pengganti Si Weasel itu. Tak perlu khawatir, Granger.”
“Iya, aku tahu, Malfoy.”
“Kau tak pulang? Ayo kuantar.”, Hermione sedikit tercengang mendengar Draco menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. “Ayolah, aku tak bercanda. Tak baik seorang gadis pulang malam sendirian.”, lanjut Draco sambil bangkit dari duduknya.
“Aku masih seorang penyihir, Malfoy. Kalau ada yang berniat jahat padaku, aku akan langsung meng-crucio-nya.”
“Dan kau akan berakhir di Azkaban.”, lagi-lagi jawaban Draco membuat Hermione heran. Seolah-olah Draco tampak peduli padanya. Draco Malfoy yang notabene mantan pelahap maut, yang dulunya tak segan untuk memantrai setiap murid Hogwarts yang menghalangi jalannya, yang dulunya tak ragu untuk melontarkan kutukan Cruciatus, sekarang malah mengingatkan Hermione kalau penggunaan salah satu dari 3 Kutukan Tak Termaafkan itu bisa membuatnya mendekam di Azkaban.
“Ayo!”, Draco mengulurkan tangannya. Hermione memandang ragu tangan pucat Draco yang terulur padanya. Ia memandang ke dalam mata Draco dan tak menemukan apabila pria pirang itu sedang mengerjainya.
“Baiklah.”, Hermione pun menyambut uluran tangan Draco dan bangkit berdiri. Mereka berdua melangkah menuju pintu keluar. Mengembalikan jam alarm yang tadi diberikan saat mereka masuk dan Draco membayar jumlah tagihannya dan Hermione.
“Hei, kau tak perlu melakukan itu.”, Hermione merasa sungkan.
“Tak apa.”, sahut Draco singkat. Tangannya masih menggenggam jemari Hermione saat mereka keluar dari Ziferblat. Saat itu sudah memasuki musim gugur. Udara sekitar agak sedikit dingin dengan angin yang berhembus kencang. Tiba-tiba Draco memasukkan jemari Hermione ke dalam saku mantelnya. “Masukkan tanganmu yang satu lagi ke saku mantelmu.”, perintah Draco,dengan nada yang datar.
“Oke.”, Hermione hanya menjawab singkat dan menundukkan kepala menatap sepatunya. Jantungnya agak deg-deg an mendapat perlakuan dari Draco seperti itu. Tangan Draco yang menggenggamnya terasa hangat. Draco menuntunnya berbelok menuju sebuah gang sempit dan berdisapparate.
                Plop. Mereka muncul di depan apartemen Hermione. Hermione melepas pegangan tangannya dari Draco.
“Er..Terima kasih, Malfoy.”, ucap Hermione agak gugup.
“You’re welcome.”, dan baru kali ini Draco tersenyum dengan tulus. Hermione sampai terpana dan baru saja mengakui dalam hati kalau ternyata pewaris Malfoy Corporation ini sangat tampan.
“Er...aku masuk dulu. Sampai jumpa lagi,Malfoy!”
“Oke. Masuklah. Cepatlah tidur, Berang-berang!”, kata Draco sambil mengacak-ngacak rambut Hermione, membuat gadis itu bersemu merah. Hermione tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia pun masuk dan menutup pintu. Setelah Hermione menutup pintu. Draco pun berbalik. Ia tersenyum sejenak. Tak tahu kenapa. Tapi ia merasa bahagia saja mengingat wajah Hermione yang bersemu merah karena dia mengacak-ngacak rambutnya tadi. Dalam sekali putaran, kibasan mantel Draco pun menghilang. Hermione yang masih bersandar di balik pintu pun juga tersenyum-senyum sendiri. Ia menyentuh rambutnya. Tersenyum lagi. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Ia melangkah menuju kamarnya, berganti baju tidur dan beranjak tidur masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

OoO

                Sore ini Hermione sedang mematutkan diri di depan cermin. Dari tadi ia sibuk memilih pakaian yang akan dikenakannya untuk pergi bersama Draco. Ya, sudah sekitar 2 minggu ini ia sering keluar bersama putra Lucius Malfoy. Entah apa status hubungan mereka saat ini. Tapi yang pasti ia menikmati setiap waktu yang dilaluinya bersama Draco. Harry dan Ginny belum mengetahui kedekatannya dengan Draco saat ini. Terdengar suara pintu diketuk tepat ketika Hermione selesai berdandan. Ia membukakan pintu.
“Hei!”, sapa Hermione. Senyum terkembang di wajahnya.
“Hei!”, jawab Draco tersenyum, “Kau sudah siap?”.
“Yes, Sir.”, Draco mengulurkan tangannya dan Hermione menyambutnya.  Draco yang malam ini mengenakan kemeja putih bergaris biru dengan dipadu jaket denim biru tampak begitu menawan. Hermione juga tampak cantik dengan mini dress biru muda sepanjang lutut ditambah stiletto berwarna putih. Rambutnya ia ikat dengan bentuk cepol samping dengan sedikit rambut menjuntai disisi wajahnya. Dengan bergandengan tangan mereka berdisapparate.
                Mereka berapparate tepat di depan Emerald Restaurant. Kali ini mereka memilih restoran penyihir. Draco dan Hermione melenggang masuk. Pelayan restoran mempersilahkan mereka memilih tempat. Draco dengan sigap menarik kursi dan mempersilahkan Hermione untuk duduk. Hermione pun hanya bisa tersenyum. Setelah Draco duduk, mereka mulai memilih menu untuk sajian makan malam mereka. Hermione benar-benar menikmati malam ini. Senyum tak pernah hilang dari wajah cantiknya. Draco pun begitu. Tak ada lagi wajah pucat datar tanpa ekspresi khas Malfoy. Sesekali Draco menggenggam tangan Hermione di tengah makan malam mereka. Tentu saja hal itu makin melambungkan perasaan Hermione.
“Kau sangat cantik malam ini,Granger.”, puji Draco selesai makan. Tangannya kembali menggenggam jemari Hermione. Yang dipuji tampak tersipu malu.
“Oh,jadi hanya malam ini aku terlihat cantik?”, goda Hermione. Draco tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Bukan begitu. Kau selalu nampak cantik. Tapi malam ini lebih cantik lagi.”, ujar Draco. Hati Hermione kebat-kebit dibuatnya.
“Kau pintar menggombal, Tuan Malfoy!”, Hermione berusaha menyembunyikan perasaannya bahwa ia senang dipuji seperti itu oleh Draco.
“Dan kau tampak senang kugombali, Miss-Know-It-All.”, Draco tertawa. Hermione semakin tersipu. Tangan Draco yang masih menggenggam tangannya membuat jantungnya makin berdebar. Hermione tak tahu bahwa Draco pun juga deg-deg an. Baru kali ini ia merasakan perasaan seperti ini. Gadis di hadapannya ini dulunya adalah musuhnya saat di sekolah. Yang selalu ia panggil mudblood selama di Hogwarts. Sekarang gadis itulah yang membuat perasaannya tak karuan. Tak lama kemudian, Draco memanggil pelayan dan meminta bill. Setelah membayarnya, ia dan Hermione melangkah keluar dan langsung berdisapparate.
                Kembali mereka muncul di depan pintu apartemen Hermione. Hermione membuka pintu dan kemudian berbalik menghadap Draco.
“Terima kasih untuk malam ini, Malfoy.”, ujarnya sambil tersenyum.
“Sama-sama, Granger.”, jawab Draco, “Masuklah. Sudah larut malam.”
“Baiklah.”, tapi Hermione masih saja mematung di depan pintu tidak segera masuk. Ia malah menundukkan kepala memandang stiletto-nya. Draco pun juga terdiam. Tak ada satu kata pun keluar dari bibir mereka masing-masing.  Draco maju mendekati Hermione. Dan tiba-tiba saja bibir Draco sudah mencium Hermione. Hermione yang kaget hanya bisa merasakan bibir basah Draco menyatu dengan bibirnya. Hangat dan kenyal. Ciuman yang awalnya biasa saja mulai berubah menggelora. Lidah Draco meminta masuk untuk dapat bermain dengan lidah Hermione. Hermione yang mulai terbawa arus pun secara refleks membuka bibirnya dan membiarkan lidah Draco mengajak bermain lidahnya. Jemari Draco bergerak ke arah leher Hermione sedangkan tangan satunya berada di pinggang gadis itu. Draco bergerak masuk ke apartemen Hermione. dengan satu kakinya ia menutup pintu tanpa melepas ciumannya. Ciuman mereka sarat akan emosi. Rasa ingin memiliki dan tak ingin kehilangan. Sesekali Draco menghisap lidah Hermione. Membuat gadis itu mendesah. Jemari Draco di leher Hermione bergerak ke rambut gadis itu dan membuat cepolnya terurai. Draco sedikit menggeram dalam ciumannya. Dengan sekali gerakan, Draco mendorong Hermione ke tembok dan mengangkat tubuh gadis itu. Seolah mengerti keinginan Draco, Hermione refleks melingkarkan kakinya di pinggang Draco. Ciuman mereka berhenti sejenak untuk mengambil napas. Dan Draco kembali mencium Hermione seolah-olah hidupnya bergantung akan hal itu. Ciuman Draco turun ke leher Hermione, membuat gadis itu semakin mendesah tak karuan.
“Mmhh...Aahh... Malfoy...”, Hermione mendesah dengan mata terpejam. Draco terus saja menciumi lehernya. Wangi tubuh Hermione seolah menjadi candu baginya. Ciuman Draco kembali keatas. Ia kembali merasakan bibir manis Hermione. Lidah mereka saling bertautan. Hingga akhirnya ciuman mereka berakhir. Draco menurunkan Hermione dari pinggangnya dan menempelkan dahinya pada dahi Hermione. Napas mereka terngah-engah. Mata mereka saling memandang dan mereka sama-sama tersenyum.
“Maafkan aku sudah lancang menciummu.”, kata Draco, masih dengan napas agak terengah.
“Tak apa,Malfoy.”, ujar Hermione tersenyum.
“Aku tak mengerti perasaan yang kurasakan ini. Tapi aku menikmati setiap waktu yang kulalui bersamamu.”, Draco mengatakannya sambil memegang kedua pipi Hermione.
“Aku juga menikmati saat-saat bersamamu,Malfoy.”, Hermione menatap lekat-lekat ke dalam mata abu-abu Draco, “Jadi sekarang apa status hubungan kita?”.
“Aku tak tahu, Granger. Tapi aku hanya ingin bersamamu. Aku masih belum mengerti perasaan yang kurasakan ini. Kita jalani dulu saja hubungan kita seperti ini.”
“Baiklah, aku mengerti.”, Hermione tersenyum. Draco mengecup dahinya dan ia spontan menutup mata.
“Sampai jumpa besok, aku akan menjemputmu sepulang dari kantor. Sekarang tidurlah.”, kata Draco. Hermione tersenyum sambil menganggukkan kepala. Draco berjalan keluar apartemennya. Sebelum pergi, Draco kembali memberinya ciuman singkat di bibir dan tersenyum.

To be continued....